Jumat, 30 September 2016

Ahlussunnah Waljamaah

AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
AL-ASY’ARIYAH & AL-MATURIDIYAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam yang diampu oleh
Dosen : Drs. H. Syarif Hidayat












Disusun Oleh : Fahrul Abas (2014010230)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO (UNSIQ)
2015
A.     Pendahuluan
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang di Samargand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu  kawasan  peradaban yang maju. Menjadi  pusat perkembangan Mu'tazilah disamping ditemukannya aliran Mujassimah, Qaramithah, dan Jahmiyah. Juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi, dan Nasrani dalam jumlah yang besar. Al-Maturidi saat itu terlihat dalam banyak pertentangan dan dialog setelah melihat kenyataan berkurangnya pembelaan terhadap sunnah. Hal ini dapat dipahami karena teologi mayoritas saat itu   adalah aliran Mu'tazilah yang banyak menyerang golongan ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.
Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab Mu'tazilah. Bahkan al-Asy'ary  pada awalnya adalah seorang Mu'tazilah namun terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah wal  jama'ah.
Pada masa itu, banyak sekali ulama Mu’tazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut faham Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Mu’tazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Mu’tazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamnya disokong oleh pemerintah.
B.     Al-Asy’ariyah
Pendiri Al-Asy’ariyah adalah Abu Hassan Al-Asy’ari yang lahir pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Mu’tazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar”. Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Mu’tazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui semua orang dan mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Setelah itu, Abu Hassan Al-Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abu Hassan Al-Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
1.       Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinyajelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang darinya Al-Asy’ari tidak bisa seratus persen menghindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.       Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.       Kebebasan dalam bekehendak
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrem, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.
d.       Qadimnya Al-Qur’an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:
“Jika Kami menghendaki sesuatu, Kami berfirman, ‘terjadilah’ maka iapun terjadi”.
(Q.S. An-Nahl:40)
e.       Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bila mana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.        Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.

g.       Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
2.       Tokoh-Tokoh Besar Al-Asy’ari
a.       Abu Hasan Al-Asy’ari
b.       Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
c.       Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
d.       Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
e.       Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
f.        Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
3.       Metode Al-Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan As-sunnah. Mereka teguh memegangi Al-ma’sur. ”Ittiba” lebih baik daripada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak dijadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks agama). Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.
4.       Pandangan-Pandangan Al-Asy’ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Mu’tazilah diantaranya ialah:
a.       Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b.       Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c.       Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
d.       Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
e.       Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
f.        Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
g.       Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Mu’tazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar ma’ruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut:
v  Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Mu’tazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha adil, tak akan berbuat zalim.
v  Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
v  Ancaman menurut Mu’tazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memaafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
v  Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar ma’ruf nahi mungkar menurut Mu’tazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
5.       Penyebaran Akidah Asy’ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.


C.     Al-Maturidi
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Manshur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahlussunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teologi yang bercorak rasional.
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’i, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah. Maturidiah dan Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.
1.       Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal. Dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
3.       Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
b.       Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.
c.       Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah SWT. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d.       Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.        Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.

g.       Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
1.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2.       Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.
h.      Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
i.        Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
2.         Golongan dalam Al-Maturidi
a.       Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan  asy’ari terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
b.       Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang  bermazhab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiyah sampai sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.
D.    Ahlussunnah Wal Jamaah
Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jamaah berasal dari kata-kata:
a.       Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”.
b.       Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c.       Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.       Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di neraka kecuali satu  yang di surga. Itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; (أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”, atau “aljamaah” (الجماعة) tetapi yang paling banyak dengan kalimat “maa ana alaihi wa ashhabi” (ماأنا عليه وأصحا). 
Berikut kutipkan beberapa hadits tentang firqah atau millah:
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut:
“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jamaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan ke neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab: Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Istilah ahlusunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Mu’tazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok paham teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wal Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
1.       Akidah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah
1.       Masalah ketuhanan :
a.       Tidak ada Tuhan selain Allah.
b.       Allah itu Esa tidak ada sekutu bagiNya.
c.       Allah itu laisa kamislihi syaiun tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya.
d.       Mengimani sifat-sifat Khabariah (yang dikhabarkan Allah tentang diriNya), yaitu:
1.       Wujud (Ada).
2.       Qidam (Maha Dahulu).
3.       Mukholafatul lil Hawaditsi (berbeda dengan semua makhluk yang baru)
4.       Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri).
5.       Wahdaniyah (Maha Esa)
6.       Qudrat (Maha Kuasa).
7.       Iradat (Maha Berkehendak).
8.       Ilmu (Maha Mengetahui)
9.       Bashar (Maha Melihat)
10.   Kalam (Maha Berfirman)
11.   Qodiron (Maha Berkuasa)
12.   Muridan
13.   Aliman
14.   Hayyan
15.   Sami’an
16.   Bashiran
17.   Mutakalliman
Disamping mengimani sifat-sifat Allah juga mengimani 99 Asmaul Husna (nama-nama baik yang juga menunjukkan sifat) bagi Allah, yaitu : Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Qudus, As Salam, Al Mukmin, Al Muhaimin, Al Azis, Al Jabbar, Al Mutakabir, Al Khaliq, Al Bari, Al Musawwir, Al Ghofar, Al Qohar, Al Wahab, Al Fatah, Ar Rozaq, dst ada 99.
2.       Akidah Tauhid :
a.       Tauhid Rububiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Rabb, pencipta seluruh alam semesta.
b.       Tauhid Uluhiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Ilah, sesembahan yang boleh diibadahi.
c.       Tauhid Mulkiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Mulk, penguasa, pengatur seluruh alam semesta, pemberi rejeki seluruh makhluk-Nya.
3.       Al-Quran
a.       Al-Quran merupakan Kalamullah (firman Allah) bukan makhluk.
b.       Meyakini semua ayat Al-Quran benar dari sisi Allah, tidak ada kesalahan, kebatilan dan pertentangan dalam semua ayat-ayatnya.
c.       Mengimani kitab suci sebelum Al-Quran pernah berlaku pada masanya masing-masing seperti : Injil nabi Isa, Zabur nabi Daud, Taurat nabi Musa, Suhuf-suhuf (lembaran suci) nabi Ibrahim.
4.       Rasul
a.       Mengimani 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Quran. Diluar 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Quran ada Nabi dan Rasul yang tidak disebutkan dalam Al-Quran.
b.       Mengimani bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir yang membawa syariat agama Islam yang telah sempurna untuk seluruh umat manusia dimuka bumi dan untuk golongan jin.
c.       Mengimani tidak ada Nabi dan Rasul baru yang menerima wahyu dan membawa syariat baru sesudah Nabi Muhammad SAW.
d.       Mengimani bahwa Nabi Muhammad SAW makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
5.       Malaikat
a.       Mengimani adanya para Malaikat yang selalu taat dan patuh kepada Allah :
1.       Malaikat Jibril, pemimpin para Malaikat yang menyampaikan wahyu kepada Nabi.
2.       Malaikat Mikail, pembagi rezeki, pengatur hujan, berhembusnya angin.
3.       Malaikat Isrofil, peniup sangkakala saat hari kiamat.
4.       Malaikat Izrail, pencabut nyawa.
5.       Malaikat Munkar, penanya dalam alam kubur.
6.       Hayat (Maha Hidup)
7.       Sama (Maha Mendengar)
8.       Malaikat Nakir, penanya dalam alam kubur.
9.       Malaikat Rokib, pencatat amal baik.
10.   Malaikat Atid, pencatatat amal buruk.
11.   Malaikat Ridwan, pemimpin penjaga surga.
12.   Malaikat Malik, pemimpin penjaga neraka.
13.   Malaikat Hafadah, mengiringi setiap manusia.
14.   Malaikat Zabaniah, petugas menjaga neraka.
15.   Malaikat Muqorrobin, pemikul Arsy
b.       Mengimani bahwa para malaikat selalu taat, patuh, beribadah, berdzikir dan memuji Allah.
6.       Mengimani adanya Iblis, syaiton dan Jin.
7.       Akhirat
a.       Mengimani adanya alam kubur.
b.       Mengimani adanya Masyar.
c.       Mengimani adanya Mizan (timbangan).
d.       Mengimani adanya hisab (perhitungan amal).
e.       Mengimani adanya Shirat (jembatan).
f.        Mengimani adanya telaga Kautsar.
g.       Mengimani adanya syafaat Nabi Muhammad dan orang-orang yang diijinkan oleh Allah untuk memberi syafaat.
h.       Mengimani adanya surga dan neraka.
8.       Iman
a.       Iman itu keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
b.       Iman dapat bertambah karena ilmu dan amal saleh, iman juga dapat berkurang karena kelalaian dan dosa-kemaksiatan.

9.       Dosa besar
a.       Pelaku dosa besar menjadi fasik.
b.       Pelaku dosa besar yang akidahnya masih sempurna, tidak keluar dari Islam.
c.       Dosa besar selain Syirik masih bisa diampuni oleh Allah bila mau taubat dengan sungguh-sungguh.
d.       Pelaku dosa besar kelak akan masuk neraka sampai waktu tertentu sebagai hukuman atas dosa-dosanya kemudian akan dimasukkan kedalam surga.
10.   Takdir dan keadilan Allah
a.       Mengimani adanya takdir Allah pada induk kitab Lauhful Mahfudz.
b.       Manusia diberi kebebasan ber ikhtiar.
c.       Allah bersifat adil dalam memberi pahala-surga bagi mukmin yang taat dan memberi dosa-neraka bagi yang durhaka.
11.   Khilafah dan imamah
a.       Wajib adanya khilafah (pemerintahan)
b.       Tidak boleh memberontak selama Khalifah masih mendirikan shalat.
c.       Prinsip pemerintahan : Quraisy (memiliki keutamaan seperti orang Quraisy), baiat, syuro (musyawarah) dan keadilan.
d.       Rasulullah tidak mewasiatkan seseorang tertentu (Ali dan keturunannya) sebagai satu-satunya yang berhak atas kekhalifahan.
12.   Filsafat
a.       Dalam urusan akidah tidak boleh mengutamakan dominasi rasio (apalagi liberal seenaknya) dalam menafsirkan nash.
b.       Dalam urusan dunia (kedokteran, matematika, kimia, astronomi, dsb), hadits Nabi : kamu lebih tahu urusan duniamu.
13.   Sahabat Nabi
a.       Semua sahabat Nabi adalah adil, artinya diterima kesaksian dan periwayatan haditsnya.
b.       Generasi Islam terbaik adalah generasi sahabat Nabi, generasi Tabiin dan generasi Tabiit Tabiin.
c.       Tidak boleh mencaci, mencelah dan mengatakan tentang keburukan para sahabat Nabi.
d.       Sahabat Nabi yang terlibat pertikaian pada perang Jamal dan Shiffin, walaupun ada yang bersalah, namun mereka telah taubat dan jasa mereka terhadap Islam masih lebih besar dari kesalahannya.
e.       Sahabat Nabi yang utama adalah :
v  Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali).
v  Sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
v  Orang-orang Muhajirin dan Anshar yang paling dahulu masuk Islam.
v  Para peserta perang Badar.
v  Para peserta Baiat dibawah pohon (Baitur Ridwan).
v  Para veteran perang-perang lain dimasa Nabi.
14.   Nash-nash Tasybih dan Tajsim.
a.       Tasybih, yaitu nash yang mengabarkan penyerupaan Allah dengan makhluk, seperti :
v  Tuhan yang Rahman bersemayam diatas Arsy. (QS Thaha : 5)
v  Dan datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat berbaris-baris (QS Al Fajr : 22).
v  Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada. (QS AL-Hadid : 4)
v  Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS Qaaf : 16)
v  Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka) (QS Al-Hadid : 22).
v  Hadits Riwayat Bukhari :Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda : Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia pada ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : Siapakah yang akan berdoa maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah yang mohon ampunan, maka Aku ampuni.
b.      Tajsim, yaitu nash yang mengkhabarkan anggota tubuh Allah
v  Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka. (QS Al-Fath : 10)
v  Hai Iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku (QS Ash Shaf : 7).
v  Dan Langit kami bangun dengan tangan Kami. (QS Az Zariat : 47)
v  Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. (QS Az Zumar : 67).
v  Hadits Riwayat Muslim :Bahwasanya hati anak Adam seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.
v  Dan buatlah perahu dengan mata Kami dan wahyu kami. (QS Hud : 37).
v   Aduhai, sesalanku atas kelalaianku dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku. (QS Az Zumar : 56)
v  Segala yang didunia akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu. (QS Ar Rahman : 26)
v  Kemana saja kamu menghadap disitulah wajah Allah. (Al Baqarah : 115)
v  Allah cahaya langit dan bumi (QS An Nur : 35).
v  Hadits riwayat Muslim:
v  Tuhan menjadikan Adam atas rupa (citra) Nya.
v  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim : Kepada neraka jahanam selalu dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya : Adakah tambahannya ? sampai tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi neraka itu yang satu dengan yang lainnya, lalu jahanam berkata : Cukuplah, cukup.
v  Terhadap nash-nash Al-Quran dan Hadits yang mengkhabarkan tasybih, tajsim, sifat-sifat Allah, maka yang demikian itu termasuk ayat-ayat mutasyabih maka kita wajib mengimani semua ayat-ayat mutasyabih tersebut berasal dari sisi Allah. Tidak ada yang tahu tawilnya kecuali Allah, dan kita tidak diwajibkan mengetahui tawilnya, maka tidak perlu menanyakan, atau membahasnya secara mendetail berdasarkan akal pikiran.
v  Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS Asy Syura : 11).
v  Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. (QS Ali Imran : 7).
E.     Analisa dan Pendapat Tentang Ahlussunnah wal Jamaah
Dari uraian diatas dapat kita analisa bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan gabungan dari dua aliran besar teologi islam, yaitu Al-Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Manshur Al-Maturidi.
Dalam pemikiran teologi, keduanya sama-sama mendasarkan pada akal dan Al-Qur’an. Menurut Keduanya, untuk mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Namun porsi yang diberikan oleh Al-Maturidi kepada akal lebih besar daripada yang diberikan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari berpendapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu, sementara Al-Maturidi berpendapat bahwa akallah yang bisa memberi tahu kewajiban mengetahui Tuhan.
Al-Asy’ariyah dan Al-Ma’turidiyah sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Pandangan Asy`ariyah tentang Al-Qur’an sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluk.
Tentang kewajiban Tuhan, pandangan Al-Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah. Kewajiban Tuhan tersebut diantaranya ialah mengutus rasul ke tengah-tengah umat agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran rasul tersebut.
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
Ada persamaan, ada pula perbedaan. Itulah yang terjadi pada dua aliran besar teologi islam, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Mereka sam-sama menolak ajaran teologi yang disampaikan oleh Mu’tazilah. Namun ada juga yang sejalan dengan mu’tazilah, seperti disebutkan tadi dimana Tuhan wajib mengutus rasul,pendapat yang sama antara Maturidi dan Mu’tazilah.
Perbedaan pendapat di kalangan aliran teologi wajar adanya. Mereka sama-sama manusia yang diciptakan dengan akal untuk berfikir secara rasional, mencari tahu kebenaran sesungguhnya tentang teologi.
Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa ajaran-ajaran teologi, seperti mengenal Tuhan dan kewajiban mengenali-Nya, kreteria baik buruk dan kewajiban mengetahuinya, hukum orang berdosa, dan lain-lain, semuanya bisa diketahui dengan akal.
Akal bisa mengetahui semuanya, tapi akan sesat jika tidak ada wahyu. Jadi antara akal dan wahyu harus seimbang porsinya. Kita mengetahui dengan akal namun wahyu juga kita jadikan pedoman agar kita tidak sesat.
Menurut penulis, hukum mengikuti ajaran Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah boleh karena kedua aliran ini adalah generasi penerus dari ke empat madzhab. Aliran Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah aliran yang sampai saat ini masih ada dan kedua aliran ini di sebut Ahlussunnah wal jamaah.
Kedua ulama ini mempunyai pemikiran yang sejalan dengan ulama salaf, hujjah-hujjah dan dalil yang mereka sampaikan tidak lain juga berasal dari ulama salaf.bahkan al’iz Abdussalam pernah memberikan komentar bahwa akidah Abu Hasan Al asyari ra telah di sepakati oleh para pengikut madzhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan pembesar Madzhab hanbalah.vStatemen al’Iz Abdussalam di atas bukanlah isapan jempol belaka, bahkan di amini oleh ulama-ulama semasanya, di antaranya ialah ‘Amr bin Hajib sebagai pemuka madzhab Malikiyah, Jamaluddin Al-Hushoiri sebagai pemuka Madzhab  hanafiyah, dan Takiyuddin As-Sabki
F.     Kesimpulan
Pada dasarnya Ahlussunnah wal Jamaah terdiri atas dua aliran, yaitu Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidi yang masing-masing dipimpin oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Keduanya memiliki beberapa perbedaan, diantaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, pelaku dosa besar, rupa Tuhan, dan juga janji tuhan.
Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam membantah pendapat-pendapat  Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.
Al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal dibandingkan dengan Al-Asy’ari yang lebih menonjilkan wahyu.

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim dan tidak diciptakan. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu diciptakan (makhluk). Paham ini sama dengan pandangan madzhab Hanbali dan Zahiriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar