AHLUS
SUNNAH WAL JAMAAH
AL-ASY’ARIYAH
& AL-MATURIDIYAH
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam yang diampu oleh
Dosen : Drs. H.
Syarif Hidayat
Disusun Oleh :
Fahrul Abas (2014010230)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
UNIVERSITAS
SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO (UNSIQ)
2015
A.
Pendahuluan
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3H timbullah
golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh
2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan
Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang
disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut
Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu
Hassan Ali Asy’ari.
Aliran
Al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran
al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila
aliran al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang
di Samargand.
Kota
tempat aliran ini lahir merupakan salah satu
kawasan peradaban yang maju. Menjadi pusat perkembangan Mu'tazilah disamping
ditemukannya aliran Mujassimah, Qaramithah, dan Jahmiyah. Juga terdapat
pengikut Majusi, Yahudi, dan Nasrani dalam jumlah yang besar. Al-Maturidi saat
itu terlihat dalam banyak pertentangan dan dialog setelah melihat kenyataan
berkurangnya pembelaan terhadap sunnah. Hal ini dapat dipahami karena teologi
mayoritas saat itu adalah aliran
Mu'tazilah yang banyak menyerang golongan ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat
lagi dengan unsur terokratis penguasa.
Asy'ari
maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab Mu'tazilah. Bahkan
al-Asy'ary pada awalnya adalah seorang
Mu'tazilah namun terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran
mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah wal jama'ah.
Pada masa itu, banyak sekali ulama Mu’tazilah mengajar di Basrah,
Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid,
Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut faham Muktazilah
atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Mu’tazilah.
Dalam
sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah
”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham
dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja,
ulama-ulama Mu’tazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu
zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamnya disokong oleh pemerintah.
B.
Al-Asy’ariyah
Pendiri
Al-Asy’ariyah adalah Abu Hassan Al-Asy’ari yang lahir pada tahun 260 H/874 M di
Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, ketika berusia lebih
dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab
Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i,
seorang ketua Mu’tazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari
yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber
lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar”. Kejadian ini terjadi
beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang
kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga pada sepuluh hari yang
ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Mu’tazilah,
Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui semua orang dan
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu,
secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya
telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut
Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah
adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga
kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga
mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah
dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Setelah
itu, Abu Hassan Al-Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abu
Hassan Al-Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Mu’tazilah,
Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat,
tabi’in, serta imam ahli hadits.
1.
Doktrin-Doktrin
Teologi Al-Asy’ari
Formulasi
pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara
formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas
formulasinyajelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah
reaksi yang darinya Al-Asy’ari tidak bisa seratus persen menghindarinya.
Pemikiran-pemikiran
Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.
Tuhan dan
Sifat-Sifat-Nya
Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrem. Dengan kelompok mujasimah
(antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai
semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain
esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh
diartikah secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Al-asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai
tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara
simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah
dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.
Kebebasan dalam
bekehendak
Dalam
hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan
perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrem, yakni Jabariah yang
fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang
menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya,
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib), hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.
Akal dan wahyu
dan kriteria baik dan buruk
Walaupun
Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu,
mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah
mengutamakan akal.
Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan
Mu’tazilah berlandaskan pada akal.
d.
Qadimnya
Al-Qur’an
Mutazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta
pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah
kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat
bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan
bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu
tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan
bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan,
sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ
كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:
“Jika Kami menghendaki sesuatu, Kami berfirman, ‘terjadilah’ maka
iapun terjadi”.
(Q.S.
An-Nahl:40)
e.
Melihat Allah
Al-asy’ari
tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriyah yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang
mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa
Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan
ru’yat dapat terjadi bila mana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.
f.
Keadilan
Pada
dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah
yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan
demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
g.
Kedudukan Orang
Berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan
bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang haruslah salah satu
diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat
bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.
2.
Tokoh-Tokoh
Besar Al-Asy’ari
a.
Abu Hasan Al-Asy’ari
b.
Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013
M)
c.
Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
d.
Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
e.
Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
f.
Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
3.
Metode
Al-Asy’ariah
Madzhab
Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan As-sunnah. Mereka teguh memegangi Al-ma’sur.
”Ittiba” lebih baik daripada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam
mensitir ayat dan hadist yang hendak dijadikan argumentasi, kaum Asy’ariah
bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah.
Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist),
mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu
yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya,
tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum
asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal
Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional.
Pada
prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal
seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan
menempatkan akal di dalam naql (teks agama). Akal dan naql saling membutuhkan.
Naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita
akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.
4.
Pandangan-Pandangan
Al-Asy’ariyah
Adapun
pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Mu’tazilah diantaranya ialah:
a. Bahwa
Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang
ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b. Al-Qur’an
itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c. Tuhan
dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
d. Perbuatan-perbuatan
manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
e. Keadilan
Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
f.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu
memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan
dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
g. Menolak
konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan
dengan lima dasar pemikiran Mu’tazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan
ancaman, antara dua kedudukan, dan amar ma’ruf nahi mungkar, hal itu dapat
dibantah sebagai berikut:
v Arti
keadilan, dijadikan kedok oleh Mu’tazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata,
“Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau memutuskannya. Karena kalau Allah
menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha adil,
tak akan berbuat zalim.
v Adapun
tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak
berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi
kontradiksi.
v Ancaman
menurut Mu’tazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memaafkan
dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
v Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan
dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar ma’ruf nahi mungkar menurut Mu’tazilah ialah wajib
menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk
kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya
apabila mereka berlaku zalim.
5.
Penyebaran
Akidah Asy’ariyah
Akidah
ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di
kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar
di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat
dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga
didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan
Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
C.
Al-Maturidi
Maturidiyah
adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah
penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat
agama dan akidah Islamiyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah
merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Manshur Muhammad
al-Maturidiyah dalam kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah yang
merupakan ajaran teologi yang bercorak rasional.
Abu
Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah
kota kecil di daerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di
Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak
diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat
pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama
Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada
masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang
teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk
karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’i,
Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh
Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiyah
merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah. Maturidiah dan Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi sosial dan
pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak
yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana
yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum
tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.
1.
Doktrin-Doktrin
Teologi Al-Maturidi
a.
Akal dan Wahyu
Dalam
pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal. Dalam
bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan
dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal
dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat
tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam
masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk
sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi
membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu.
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebutuhan sesuatu itu.
3.
Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi,
yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena
larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah
dan Al-Asy’ari.
b.
Perbuatan
Manusia
Menurut
Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara
ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan
manusia.
Dengan
demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan
manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan
dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia
sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.
c.
Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
Telah
diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini,
yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah SWT. Menurut Al-Maturidi qudrat
Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
d.
Sifat Tuhan
Dalam
hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tazilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat
bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren dzat tanpa
terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat
tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan
membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya
faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah,
perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e.
Melihat Tuhan
Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh
Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Namun
melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena
keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.
Kalam Tuhan
Al-Maturidi
membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat
qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya
bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali
dengan suatu perantara.
g.
Perbuatan
Manusia
Menurut
Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya
atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan
kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya
sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa-al ashlah
(yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia
tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban
tersebut adalah :
1.
Tuhan tidak akan membebankan
kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh Tuhan
dalam kemampuan dan perbuatannya.
2.
Hukuman atau ancaman dan janji
terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.
h.
Pelaku Dosa
Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan
demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya
kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik)
tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
i.
Pengutusan
Rasul
Pandangan
Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa
pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan
rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang
di sampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuannya kepada akalnya.
2.
Golongan dalam
Al-Maturidi
a.
Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)
Yang
menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini
cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat
tuhan, maturidi dan asy’ari terdapat kesamaan pandangan, menurut
maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan
dengan pengetahuannya.
Aliran
maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid.
Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
b.
Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)
Golongan
Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan
pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi
menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat
menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara
adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang
mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Aliran
Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada Asy'ariyah
sedangkan aliran Maturidiyah Samarkand
dalam beberapa hal lebih dekat
kepada Mutazilah,terutama dalam masalah keterbukaan
terhadap peranan akal.
Namun
walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam
yang bermazhab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiyah sampai
sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.
D.
Ahlussunnah
Wal Jamaah
Ditinjau
dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jamaah berasal dari
kata-kata:
a. Ahl
(Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”.
b. Assunnah
berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan,
tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c. Wa,
huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.
Al jama’ah berarti jama’ah,
yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup
para sahabat.
Secara
etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang
senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para
sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah
para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus
Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak
diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata
"Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah
dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan
para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari
yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam
masalah aqidah dan ahkam.
Kedua,
lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan
lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.
Kedua
makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan
dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah
terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada
beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang
kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6
riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan
hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits
yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah,
semua di neraka kecuali satu yang di surga. Itulah yang disebut firqah
yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa
riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; (أهل
الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”, atau “aljamaah” (الجماعة) tetapi yang paling banyak dengan kalimat
“maa ana alaihi wa ashhabi” (ماأنا عليه وأصحا).
Berikut
kutipkan beberapa hadits tentang firqah atau millah:
Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz
1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut:
“yang
dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
(meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan
dengan pengertian jamaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat
Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah
oleh Allah SWT”.
Dalam
sebuah hadis dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“
Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada
72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan
dimasukkan ke neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, siapakah
mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab: Mereka yang mengikuti aku dan
para sahabatku”. (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Istilah
ahlusunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan
Mu’tazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M . Dengan perlahan-lahan
paham Mu’tazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh
ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu
Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M ). Pada masa Al-Makmun,
yakni tahun 827 M
bahkan aliran Mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran
yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru
dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari
satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka
Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap
khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes
keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab
ahlu sunnah wal jamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran
teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok paham teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah
banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di
kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wal
Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah
itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
1. Akidah
Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah
1. Masalah ketuhanan :
a. Tidak ada Tuhan selain
Allah.
b. Allah itu Esa tidak ada
sekutu bagiNya.
c. Allah itu laisa
kamislihi syaiun tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya.
d. Mengimani sifat-sifat
Khabariah (yang dikhabarkan Allah tentang diriNya), yaitu:
1.
Wujud (Ada).
2.
Qidam (Maha Dahulu).
3.
Mukholafatul lil Hawaditsi (berbeda dengan semua
makhluk yang baru)
4.
Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri).
5.
Wahdaniyah (Maha Esa)
6.
Qudrat (Maha Kuasa).
7.
Iradat (Maha Berkehendak).
8.
Ilmu (Maha Mengetahui)
9.
Bashar (Maha Melihat)
10.
Kalam (Maha Berfirman)
11.
Qodiron (Maha Berkuasa)
12.
Muridan
13.
Aliman
14.
Hayyan
15.
Sami’an
16.
Bashiran
17. Mutakalliman
Disamping mengimani
sifat-sifat Allah juga mengimani 99 Asmaul Husna (nama-nama baik yang
juga menunjukkan sifat) bagi Allah, yaitu : Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al
Qudus, As Salam, Al Mukmin, Al Muhaimin, Al Azis, Al Jabbar, Al Mutakabir, Al
Khaliq, Al Bari, Al Musawwir, Al Ghofar, Al Qohar, Al Wahab, Al Fatah, Ar Rozaq,
dst ada 99.
2. Akidah Tauhid :
a. Tauhid Rububiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Rabb, pencipta seluruh alam semesta.
b. Tauhid Uluhiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Ilah, sesembahan yang boleh diibadahi.
c. Tauhid Mulkiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Mulk, penguasa, pengatur seluruh alam
semesta, pemberi rejeki seluruh makhluk-Nya.
3. Al-Quran
a. Al-Quran merupakan
Kalamullah (firman Allah) bukan makhluk.
b. Meyakini semua ayat
Al-Quran benar dari sisi Allah, tidak ada kesalahan, kebatilan dan pertentangan
dalam semua ayat-ayatnya.
c. Mengimani kitab suci
sebelum Al-Quran pernah berlaku pada masanya masing-masing seperti : Injil nabi
Isa, Zabur nabi Daud, Taurat nabi Musa, Suhuf-suhuf (lembaran suci) nabi
Ibrahim.
4. Rasul
a. Mengimani 25 Nabi dan
Rasul yang disebutkan dalam Al-Quran. Diluar 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan
dalam Al-Quran ada Nabi dan Rasul yang tidak disebutkan dalam Al-Quran.
b. Mengimani bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasul terakhir yang membawa syariat agama Islam yang telah
sempurna untuk seluruh umat manusia dimuka bumi dan untuk golongan jin.
c. Mengimani tidak ada
Nabi dan Rasul baru yang menerima wahyu dan membawa syariat baru sesudah Nabi
Muhammad SAW.
d. Mengimani bahwa Nabi
Muhammad SAW makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
5. Malaikat
a. Mengimani adanya para
Malaikat yang selalu taat dan patuh kepada Allah :
1.
Malaikat Jibril, pemimpin para Malaikat yang
menyampaikan wahyu kepada Nabi.
2.
Malaikat Mikail, pembagi rezeki, pengatur hujan,
berhembusnya angin.
3.
Malaikat Isrofil, peniup sangkakala saat hari kiamat.
4.
Malaikat Izrail, pencabut nyawa.
5.
Malaikat Munkar, penanya dalam alam kubur.
6.
Hayat (Maha Hidup)
7.
Sama (Maha Mendengar)
8.
Malaikat Nakir, penanya dalam alam kubur.
9.
Malaikat Rokib, pencatat amal baik.
10.
Malaikat Atid, pencatatat amal buruk.
11.
Malaikat Ridwan, pemimpin penjaga surga.
12.
Malaikat Malik, pemimpin penjaga neraka.
13.
Malaikat Hafadah, mengiringi setiap manusia.
14.
Malaikat Zabaniah, petugas menjaga neraka.
15.
Malaikat Muqorrobin, pemikul Arsy
b. Mengimani bahwa para
malaikat selalu taat, patuh, beribadah, berdzikir dan memuji Allah.
6.
Mengimani adanya Iblis, syaiton dan Jin.
7.
Akhirat
a.
Mengimani adanya alam kubur.
b.
Mengimani adanya Masyar.
c.
Mengimani adanya Mizan (timbangan).
d.
Mengimani adanya hisab (perhitungan amal).
e.
Mengimani adanya Shirat (jembatan).
f.
Mengimani adanya telaga Kautsar.
g.
Mengimani adanya syafaat Nabi Muhammad dan orang-orang
yang diijinkan oleh Allah untuk memberi syafaat.
h.
Mengimani adanya surga dan neraka.
8.
Iman
a.
Iman itu keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan
dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
b.
Iman dapat bertambah karena ilmu dan amal saleh, iman
juga dapat berkurang karena kelalaian dan dosa-kemaksiatan.
9.
Dosa besar
a.
Pelaku dosa besar menjadi fasik.
b.
Pelaku dosa besar yang akidahnya masih sempurna, tidak
keluar dari Islam.
c.
Dosa besar selain Syirik masih bisa diampuni oleh
Allah bila mau taubat dengan sungguh-sungguh.
d.
Pelaku dosa besar kelak akan masuk neraka sampai waktu
tertentu sebagai hukuman atas dosa-dosanya kemudian akan dimasukkan kedalam
surga.
10. Takdir dan keadilan
Allah
a.
Mengimani adanya takdir Allah pada induk kitab Lauhful
Mahfudz.
b.
Manusia diberi kebebasan ber ikhtiar.
c.
Allah bersifat adil dalam memberi pahala-surga bagi
mukmin yang taat dan memberi dosa-neraka bagi yang durhaka.
11. Khilafah dan imamah
a. Wajib adanya khilafah
(pemerintahan)
b. Tidak boleh memberontak
selama Khalifah masih mendirikan shalat.
c. Prinsip pemerintahan :
Quraisy (memiliki keutamaan seperti orang Quraisy), baiat, syuro (musyawarah)
dan keadilan.
d. Rasulullah tidak
mewasiatkan seseorang tertentu (Ali dan keturunannya) sebagai satu-satunya yang
berhak atas kekhalifahan.
12. Filsafat
a.
Dalam urusan akidah tidak boleh mengutamakan dominasi
rasio (apalagi liberal seenaknya) dalam menafsirkan nash.
b.
Dalam urusan dunia (kedokteran, matematika, kimia,
astronomi, dsb), hadits Nabi : kamu lebih tahu urusan duniamu.
13. Sahabat Nabi
a.
Semua sahabat Nabi adalah adil, artinya diterima
kesaksian dan periwayatan haditsnya.
b.
Generasi Islam terbaik adalah generasi sahabat Nabi,
generasi Tabiin dan generasi Tabiit Tabiin.
c.
Tidak boleh mencaci, mencelah dan mengatakan tentang
keburukan para sahabat Nabi.
d.
Sahabat Nabi yang terlibat pertikaian pada perang
Jamal dan Shiffin, walaupun ada yang bersalah, namun mereka telah taubat dan
jasa mereka terhadap Islam masih lebih besar dari kesalahannya.
e.
Sahabat Nabi yang utama adalah :
v Khulafaur Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Usman dan Ali).
v Sepuluh sahabat yang
dijamin masuk surga.
v Orang-orang Muhajirin
dan Anshar yang paling dahulu masuk Islam.
v Para peserta perang
Badar.
v Para peserta Baiat
dibawah pohon (Baitur Ridwan).
v
Para veteran perang-perang lain dimasa Nabi.
14. Nash-nash Tasybih dan
Tajsim.
a.
Tasybih, yaitu nash yang mengabarkan penyerupaan Allah
dengan makhluk, seperti :
v
Tuhan yang Rahman bersemayam diatas Arsy. (QS Thaha : 5)
v
Dan datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat
berbaris-baris (QS Al Fajr : 22).
v
Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu
berada. (QS AL-Hadid : 4)
v
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya. (QS Qaaf : 16)
v
Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar
(musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka) (QS Al-Hadid : 22).
v
Hadits Riwayat Bukhari :Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda : Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia
pada ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : Siapakah
yang akan berdoa maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri,
siapakah yang mohon ampunan, maka Aku ampuni.
b.
Tajsim, yaitu nash yang mengkhabarkan anggota tubuh
Allah
v Sesungguhnya
orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka. (QS Al-Fath : 10)
v Hai Iblis, apa yang
menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua
tangan-Ku (QS Ash Shaf : 7).
v Dan Langit kami bangun
dengan tangan Kami. (QS Az Zariat : 47)
v Padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. (QS Az Zumar : 67).
v Hadits Riwayat Muslim :Bahwasanya
hati anak Adam seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang
Rahman.
v Dan buatlah perahu
dengan mata Kami dan wahyu kami. (QS Hud : 37).
v Aduhai, sesalanku atas kelalaianku dalam
mengurus sisi rusuk Tuhanku. (QS Az Zumar : 56)
v Segala yang didunia
akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu. (QS Ar Rahman : 26)
v Kemana saja kamu
menghadap disitulah wajah Allah. (Al Baqarah : 115)
v Allah cahaya
langit dan bumi (QS An Nur : 35).
v Hadits riwayat Muslim:
v Tuhan menjadikan Adam
atas rupa (citra) Nya.
v Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim : Kepada neraka jahanam selalu dilemparkan sesuatu, dan ia selalu
bertanya : Adakah tambahannya ? sampai tuhan meletakkan tumit-Nya dalam
neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi neraka itu yang satu dengan yang
lainnya, lalu jahanam berkata : Cukuplah, cukup.
v Terhadap nash-nash
Al-Quran dan Hadits yang mengkhabarkan tasybih, tajsim, sifat-sifat Allah, maka
yang demikian itu termasuk ayat-ayat mutasyabih maka kita wajib mengimani
semua ayat-ayat mutasyabih tersebut berasal dari sisi Allah. Tidak ada yang
tahu tawilnya kecuali Allah, dan kita tidak diwajibkan mengetahui tawilnya,
maka tidak perlu menanyakan, atau membahasnya secara mendetail berdasarkan akal
pikiran.
v Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia. (QS Asy Syura : 11).
v
Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan lainnya
mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan
mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya kecuali
Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. (QS Ali Imran : 7).
E.
Analisa
dan Pendapat Tentang Ahlussunnah wal Jamaah
Dari
uraian diatas dapat kita analisa bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan
gabungan dari dua aliran besar teologi islam, yaitu Al-Asy’ariyah yang
didirikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidiyah yang didirikan
oleh Abu Manshur Al-Maturidi.
Dalam
pemikiran teologi, keduanya sama-sama mendasarkan pada akal dan Al-Qur’an.
Menurut Keduanya, untuk mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Namun porsi
yang diberikan oleh Al-Maturidi kepada akal lebih besar daripada yang diberikan
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari berpendapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan hanya bisa
diketahui melalui wahyu, sementara Al-Maturidi berpendapat bahwa akallah yang
bisa memberi tahu kewajiban mengetahui Tuhan.
Al-Asy’ariyah
dan Al-Ma’turidiyah sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang
mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil
dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Pandangan
Asy`ariyah tentang Al-Qur’an sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya
sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka
berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluk.
Tentang
kewajiban Tuhan, pandangan Al-Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah.
Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah. Kewajiban Tuhan
tersebut diantaranya ialah mengutus rasul ke tengah-tengah umat agar manusia
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran rasul tersebut.
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin
yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya.
Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua
tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
Ada
persamaan, ada pula perbedaan. Itulah yang terjadi pada dua aliran besar
teologi islam, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Mereka sam-sama menolak ajaran
teologi yang disampaikan oleh Mu’tazilah. Namun ada juga yang sejalan dengan
mu’tazilah, seperti disebutkan tadi dimana Tuhan wajib mengutus rasul,pendapat
yang sama antara Maturidi dan Mu’tazilah.
Perbedaan
pendapat di kalangan aliran teologi wajar adanya. Mereka sama-sama manusia yang
diciptakan dengan akal untuk berfikir secara rasional, mencari tahu kebenaran
sesungguhnya tentang teologi.
Dari
uraian diatas penulis berpendapat bahwa ajaran-ajaran teologi, seperti mengenal
Tuhan dan kewajiban mengenali-Nya, kreteria baik buruk dan kewajiban
mengetahuinya, hukum orang berdosa, dan lain-lain, semuanya bisa diketahui
dengan akal.
Akal
bisa mengetahui semuanya, tapi akan sesat jika tidak ada wahyu. Jadi antara
akal dan wahyu harus seimbang porsinya. Kita mengetahui dengan akal namun wahyu
juga kita jadikan pedoman agar kita tidak sesat.
Menurut
penulis, hukum mengikuti ajaran Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah boleh karena
kedua aliran ini adalah generasi penerus dari ke empat madzhab. Aliran Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi adalah aliran yang sampai saat ini masih ada dan kedua aliran
ini di sebut Ahlussunnah wal jamaah.
Kedua
ulama ini mempunyai pemikiran yang sejalan dengan ulama salaf, hujjah-hujjah
dan dalil yang mereka sampaikan tidak lain juga berasal dari ulama salaf.bahkan
al’iz Abdussalam pernah memberikan komentar bahwa akidah Abu Hasan Al asyari ra
telah di sepakati oleh para pengikut madzhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah,
dan pembesar Madzhab hanbalah.vStatemen al’Iz Abdussalam di atas bukanlah
isapan jempol belaka, bahkan di amini oleh ulama-ulama semasanya, di antaranya
ialah ‘Amr bin Hajib sebagai pemuka madzhab Malikiyah, Jamaluddin Al-Hushoiri sebagai
pemuka Madzhab hanafiyah, dan Takiyuddin As-Sabki
F.
Kesimpulan
Pada
dasarnya Ahlussunnah wal Jamaah terdiri atas dua aliran, yaitu Al-Asy’ariyah
dan Al-Maturidi yang masing-masing dipimpin oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan
Abu Manshur Al-Maturidi.
Keduanya
memiliki beberapa perbedaan, diantaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban
tuhan, pelaku dosa besar, rupa Tuhan, dan juga janji tuhan.
Pokok-pokok
ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan
aliran al-Asy'ariyah dalam membantah pendapat-pendapat
Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran
mereka atau dalam masalah cabang.
Al-Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal dibandingkan dengan Al-Asy’ari
yang lebih menonjilkan wahyu.
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan
bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim dan tidak diciptakan. Mereka
berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
diciptakan (makhluk). Paham ini sama dengan pandangan madzhab Hanbali dan
Zahiriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar