BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan, maka dapatlah kita
memandangnya dari dua sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama,
sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh
agama. Dri sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan, saat
itu pula dia bukan hanya melaksanakan perintah agama, namun juga memiliki
keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus
dilakukan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan
biologis juga sebenarnya harus dipenuhi. Agama Islam juga telah menetapkan
bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya
dengan pernikahan. Pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita
lebih mencermati lagi kandungan makna yang ada dalam penikahan maupun
permasalahannya.
Dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga
membawa kedamaian dalam hidup seseorang. Ini berarti pernikahan sesungguhnya
bukan hanya sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks. Namun lebih dari itu,
pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia
dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila
sebuah pernikahan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Syariah Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka timbul beberapa permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini,yaitu tentang :
1.
Definisi
pernikahan,
2.
Tujuan
pernikahan dalam Islam,
3.
Hukum
pernikahan dalam Islam,
4.
Syarat dan
Rukun Pernikahan,
5.
Usia ideal
pernikahan.
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui makna dari pernikahan,
2.
Untuk
mengetahui tujuan pernikahan dalam Islam,
3.
Untuk memahami
hukum pernikahan dalam Islam,
4.
Untuk
mengetahui syarat dan rukun pernikahan,
5.
Untuk mengetahui
usia ideal dalam pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Nikah
Pengertian Nikah menurut bahasa ialah berkumpul menjadi satu
(fathul Mu’in), segala sesuatu yang berkumpul jadi satu disebut nikah. Jika ada
dua pohon yang di-stak, itupun disebut nikah. Namun pengertian nikah menurut
syara’ (Undang-Undang Agama Islam) ialah akad yang mengandung unsur
diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz nikah atau
tazwij.[1]
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB
I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa : “Perkawinan ialaha ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Menikah termasuk perintah Allah dan Rasul-Nya, barang siapa yang
menuruti perintah Allah dan Rasul-Nya masuk dalam kategori ibadah, memperoleh
pahala dan Ridho-Nya, dan barang siapa yang menikah dengan niat beribadah
(mengikuti perintah-Nya) tentu memperoleh pahala. Menikah termasuk dalam
perintah Allah, jelas dalam firman-Nya :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[3]
Firman-Nya :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.[4]
Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah
menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan
menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)[5]
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan
dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahram. Sesuai dengan firman Allah :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[6]
Nikah adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
embrio bangunan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan
satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
melainkan dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara
suatu kaum dengan kaum lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan interelasi
antara satu kaum dan yang lainnya.
Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara si
istri dengan suaminya, kasih mengasihi, berpindahlah kebaikan itu kepada semua
keluarga kedua belah pihak sehingga mereka menjadi integral dalam segala urusan
sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu,
dengan pernikahan, seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
B.
Tujuan
Pernikahan dalam Islam
Tujuan dan niat menikah bukan untuk kepuasan lahir batin belaka,
juga bukan bertujuan ikut-ikutan, apalagi menikah hanya bertujuan libido seks
atau tendensi lain. Menikah dengan niata seperti ini tidak memperoleh pahala,
kecuali Allah akan merendahkan hidup mereka.
Tujuan utama menikah ialah untuk beribadah kepada Allah. Disebut
beribadah kepada Allah karena anda menikah atas dorongan mengikuti perintah
Allah dan Rasul-Nya, lihat firman-Nya :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB ...
Artinya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu ...(QS. An-Nur : 32)
Sabda Rasulullah SAW :
ياَ مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اِسْتَطَاع
مِنْكُمُ اْلبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجُ...
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah
menikah ...(HR. Imam Bukhari Muslim)[7]
Bila mana dalam hati terselip niat mengikuti perintah-Nya,
mengikuti seruan dua pedoman diatas, maka kaki dan hati sudah di jalur ibadah,
segala apa yang dilakukan dalam pernikahan bahkan meramas jemari istri
(Qurratul ‘Uyun) diganjar dengan pahala yang tak terhingga, apalagi bekerja
untuk anak istri, pahala itu melimpah ruah menyelimuti keluarga sakinah itu.
Sebaliknya jika tujuannya untuk kepentingan duniawi semisal harta,
karena kecantikannya, keturunan ningrat, jabatan, kekuasaan seseorang atau
penghasilan seseorang, maka Allah akan membuat rendah dan terhina keluarga anda
di mata Allah. Pernikahan seperti ini mutlak tidak ada kebahagiaan yang hakiki,
hanya fatamorgana yang terbatas sekali. Okelah harta mudah datang dengan
menikahi orang kaya, namun sisi lain kadang mereka tidak mengerti sama dengan
mendatangkan berbagai masalah lain yang memmperuncing masalah intern keluarga.
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang mengawini wanita karena hartanya,Allah tidak akan
memberikan kecuali kemiskinan : barangsiapa yang mengawini karena kecantikannya
Allah tidak akan memberikan kecuali kerendahan.....” (HR.
Imam Abu Naim ;melalui Abbas ra.)
Sabda Rasulullah SAW :
“Janganlah kalian mengawini wanita karena kecantikannya, mungkin
karena kecantikannya itu bisa mencelakakan.....” (HR.
Ibnu Majah, Imam Baihaqi, dan Imam Bazar.)
Pernikahan mempunyai tujuan yang luhur, dimana agar suami istri
melaksanakan Syariat Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah
tangga berdasarkan Syariat Islam ialah wajib.
Pernikahan juga bertujuan untuk mengembangkan Bani Adam. Dan yang
terpenting dari pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha
mencari dan membentuk generasi yang berkualitas. Yaitu mencari anak yang shalih
dan bertaqwa kepada Allah SWT . Tentunya keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
C.
Hukum
Pernikahan dalam Islam
Pada dasarnya hukum pernikahan adalah mubah (boleh). Semua orang
boleh menikah, namun karena pertimbangan keadaan, hukum dasar itu bisa berubah
sesuai dengan hukum lima yang ada dalam Islam.
1.
Wajib
Seseorang wajib menikah bila mana sudah memiliki kemampuan lahir
batin melangsungkan pernikahan dan membawa bahtera rumah tangga selayaknya.
Bila tidak menikah dimungkinkan dirinya lebih jauh melakukan kemaksiatan dan
kedzaliman, karena menjaga diri dari barang haram hukumnya wajib.
Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah
menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan
menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)
2.
Sunnah
Bila mana seseorang mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, bisa memberi
maskawin atau kebutuhan lain, sementara dia masih kuasa menahan godaan nafsu
untuk bertahan di jalan yang benar tanpa tergoda ke jalan yang haram, bagi dia
hukumnya sunat menikah, dan masih dianjurkan lebih baik menikah, karena menikah
lebih mampu menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Jika seorang hamba telah menikah, maka sungguh ia
telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
dalam menjaga sisa(nya).(HR. Thabrani)
3.
Makruh
Bilamana seseorang belum mampu memikul biaya hidup berkeluarga
serta, tidak seberapa butuh untuk melampiaskan libido seks karena kelemahannya,
orang seperti ini makruh menikah. Atau karena pernikahannya menghancurkan diri
sendiri disebabkan kurang kesiapan lahir batin,atau justru menyengsarakan pihak
wanita segi lahir batin, karena standar hadist Rasul, ialah seruan nikah
bilamana anda mampu, bilamana tidak mampu secara tidak langsung belum dalam
seruan hadist itu.
Firman Allah SWT :
É#Ïÿ÷ètGó¡uø9ur tûïÏ%©!$# w tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuÏZøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù
Artinya : Dan orang-orang yang belum
mampu untuk menikah hendaklah mereka menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur : 33).
4.
Haram
Bilamana
anda mutlak tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin istri seperti kebutuhan
batin dan materi, dan anda tidak mampu memenuhi kebutuhan itu, serta anda tahu
dengan pernikahan ini semakin menyengsarakan pihak wanita, haram menikahinya.
5.
Mubah
Seseorang
diperbolehkan kawin bilamana tidak ada halangan untuk menikah,juga tidak ada
bahaya lain bilamana tidak menikah. Dia punya potensi “mampu” memenuhi kebutuhan lahir batin, namun dia
masih bisa membawa diri lebih baik dan masih ada seumpama, sesuatu yang lebih
baik dikejar daripada menikah dulu.
Posisi
seperti ini berubah sunnah bila ada kemampuan memenuhi kebutuhan lahir batin
istri jika dia menikah, dan tidak menikah tidak membayangkan dirinya ; jika
membahayakan dirinya, dia wajib menikah.[8]
D. Syarat
dan Rukun Pernikahan
Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat.
Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan
syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua
unsur ini tidak terpenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut
hukum. Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai
penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Seperti membasuh muka untuk
wudlu’ dan takbirotul ihrom untuk sholat, atau adanya calon pengantin
laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.
Tentang jumlah rukun nikah ini para Imam Madzhab berbeda pendapat
dalam menentukanya. Imam Malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam, yaitu
: wali dari pihak perempuan, mahar (mas kawin), calon pengantin laki-laki,
calon pengantin perempuan, dan sighat akad nikah. Imam Syafi’i juga menyebutkan
lima, yaitu calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua
orang saksi dan sighat akad nikah.
Sedangkan menurut para ulama madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun
nikah itu hanya ada satu yaitu ijab dan qobul (akad yang dilakukan oleh pihak
wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedang menurut segolongan ulama
yang lain menyebutkan rukun nikah ada empat, yaitu : sighat (ijab dan qobul), calon
pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki, dan wali dari pihak calon
pengantin perempuan.
Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu
”untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul.
Dari uraian diatas, jumhur ulama telah sepakat bahwa rukun
perkawinan terdiri atas :
1.
Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan perkawinan,
2.
Adanya wali
dari pihak calon pengantin wanita,
3.
Adanya dua
orang saksi,
4.
Adanya sighat
akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
perempuan dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Syarat perkawinan merupakan dasar sah tidaknya suatu perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun syarat-syarat yang
harus terpenuhi dari perkawinan antara lain yaitu :
1.
Calon suami
dengan syarat-syarat :
·
Beragama Islam
·
Laki-laki
·
Jelas orangnya
(bukan khuntha / muskhil)
·
Dapat
memberikan persetujuan
·
Tidak terdapat
halangan melakukan perkawinan
2.
Calon istri
dengan syarat-syarat :
·
Beragama,
meskipun yahudi atau nashrani
·
Perempuan
(bukan khuntha / mushkil)
·
Jelas orangnya
·
Dapat dimintai
persetujuannya
·
Tidak terdapat
halangan melakukan perkawinan
3.
Wali nikah
dengan syarat-syarat :
·
Laki-laki
·
Dewasa
·
Mempunyai hak
perwalian
4.
Saksi nikah
dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini :
·
Minimal dua
orang laki-laki
·
Hadir dalam
ijab qabul
·
Dapat mengerti
maksud akad
·
beragama islam
·
bersikap adil
·
dewasa
5.
Ijab qobul
dengan syarat-syarat
·
dilakukan
dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima
aqad dan saksi).
·
singkat
hendaknyamenggunakan ucapan yangmenunjukkan waktu lampau atau salah seorang
menggunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampausedang lainnya dengan kalimat
yang mennjukkan waktu yang akan datang.
E. Usia
Ideal Menikah dalam Islam
Di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaaqqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan
segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus
terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam
pelaksanaannya.
Salah satu persyaratan yang sering
menjadi
perbincangan masyarakat akhir-akhir ini
adalah batas usia
pernikahan. Hal ini sering muncul seiring
dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia? Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1
tahun 1974,[9]
Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian
para ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usia calon
pengantin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh
sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah
kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan
usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing.
Sabda Rasullullah SAW :

Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah
menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan
menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)
Jika dilihat dari hadist di atas ,
kemampuan merupakan faktor penentu
pernikahan menurut Islam. Lalu apa makna mampu disini? Sebagian ulama
mendefinisikan sebagai kemampuan memberi nafkah lahir dan batin ketika menikah.
Namun sebagian ulama memberi keringanan, yaitu kemampuan jima’ (berhubungan suami istri. Sebab ketika menikah, secara otomatis
dia akan tergerak untuk bekerja.
Jika dianalisis lebih jauh, peraturan
batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah
kependudukan. Denagn batasan umur dan kesan, undang-undang perkawinan bermaksud
merekayasa untuk tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang membawa akibat
pada laju pertambahan penduduk.
Dengan demikian pengaturan tentang usia
ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon
suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar
tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga kekal dan bahagia secara baik dan
sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur atau sering
diistilahkan dengan perkawinan dini seperti yang telah ditetapkan oleh
undang-undang semestinya dihindari karena membawa efek yang kurang baik,
terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan
dalam Islam ialah ibadah. Itu berarti jika dilaksanakan mendapat pahala. Hal
itu berlaku bila dalam sebuah pernikahan dilakukan dengan tujuan untuk meraih
Ridha Allah dengan menjalankan perintah-Nya.
Namun
hal tersebut sepertinya sudah jarang ada di dunia nyata. Kebanyakan mereka yang
menikah ialah karena faktor cinta, dan kedepannya dilakukan dengan dasar untuk
memperoleh keturunan. Hal itu sah-sah saja. Akan tetapi akan jauh lebih baik
jika kita menjalankan pernikahan sesuai dengan syariah Islam, mulai saat
persiapan pernikahan hingga sampai saat membina rumah tangga. Dengan demikian
kedepannya akan dipenuhi keindahan rumah tangga bersama anak-anak shalih dan
shalihah.
Sejalan
dengan program pemerintah melalui pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yang menetapkan
batas usia pernikahan, alangkah baiknya jika kita patuhi. Hal ini berpengaruh
pada masa depan sebuah pernikahan. Jika kita masih dalam usia yang belum cukup,
maka mental kita juga belum siap untuk membina rumah tangga. Jadi alangkah
baiknya jika kita menikah dengan usia yang cukup sesuai pasal diatas dan juga
dilengkapi mental yang kuat untuk membangun bahtera rumah tangga.
[1] Fatihuddin
Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang, 2006, hlm. 10
[2] Beni
Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung,
Pustaka Setia, 2011, hlm. 30
[3] QS.
An-Nur : 32
[4] QS
Ar-Rum : 21
[5]
Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang,
2006, hlm. 11
[6] QS.
An-Nisa : 3
[7]
Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang,
2006, hlm. 13
[8]
Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang,
2006, hlm. 15
[9] Beni
Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung,
Pustaka Setia, 2011, hlm. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar