Jumat, 30 September 2016

Pernikahan dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan, maka dapatlah kita memandangnya dari dua sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama, sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Dri sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan, saat itu pula dia bukan hanya melaksanakan perintah agama, namun juga memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus dilakukan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis juga sebenarnya harus dipenuhi. Agama Islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan. Pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati lagi kandungan makna yang ada dalam penikahan maupun permasalahannya.
Dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga membawa kedamaian dalam hidup seseorang. Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks. Namun lebih dari itu, pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila sebuah pernikahan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Syariah Islam.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka timbul beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini,yaitu tentang :
1.      Definisi pernikahan,
2.      Tujuan pernikahan dalam Islam,
3.      Hukum pernikahan dalam Islam,
4.      Syarat dan Rukun Pernikahan,
5.      Usia ideal pernikahan.
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui makna dari pernikahan,
2.      Untuk mengetahui tujuan pernikahan dalam Islam,
3.      Untuk memahami hukum pernikahan dalam Islam,
4.      Untuk mengetahui syarat dan rukun pernikahan,
5.      Untuk mengetahui usia ideal dalam pernikahan.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Nikah
Pengertian Nikah menurut bahasa ialah berkumpul menjadi satu (fathul Mu’in), segala sesuatu yang berkumpul jadi satu disebut nikah. Jika ada dua pohon yang di-stak, itupun disebut nikah. Namun pengertian nikah menurut syara’ (Undang-Undang Agama Islam) ialah akad yang mengandung unsur diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij.[1]
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa : “Perkawinan ialaha ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Menikah termasuk perintah Allah dan Rasul-Nya, barang siapa yang menuruti perintah Allah dan Rasul-Nya masuk dalam kategori ibadah, memperoleh pahala dan Ridho-Nya, dan barang siapa yang menikah dengan niat beribadah (mengikuti perintah-Nya) tentu memperoleh pahala. Menikah termasuk dalam perintah Allah, jelas dalam firman-Nya :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[3]
Firman-Nya :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[4]
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)[5]

Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Sesuai dengan firman Allah :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[6]
Nikah adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan atau embrio bangunan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, melainkan dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan interelasi antara satu kaum dan yang lainnya.
Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga kedua belah pihak sehingga mereka menjadi integral dalam segala urusan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan, seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
B.     Tujuan Pernikahan dalam Islam
Tujuan dan niat menikah bukan untuk kepuasan lahir batin belaka, juga bukan bertujuan ikut-ikutan, apalagi menikah hanya bertujuan libido seks atau tendensi lain. Menikah dengan niata seperti ini tidak memperoleh pahala, kecuali Allah akan merendahkan hidup mereka.
Tujuan utama menikah ialah untuk beribadah kepada Allah. Disebut beribadah kepada Allah karena anda menikah atas dorongan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, lihat firman-Nya :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB ...
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu ...(QS. An-Nur : 32)
Sabda Rasulullah SAW :
ياَ مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اِسْتَطَاع مِنْكُمُ اْلبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجُ...
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah menikah ...(HR. Imam Bukhari Muslim)[7]
Bila mana dalam hati terselip niat mengikuti perintah-Nya, mengikuti seruan dua pedoman diatas, maka kaki dan hati sudah di jalur ibadah, segala apa yang dilakukan dalam pernikahan bahkan meramas jemari istri (Qurratul ‘Uyun) diganjar dengan pahala yang tak terhingga, apalagi bekerja untuk anak istri, pahala itu melimpah ruah menyelimuti keluarga sakinah itu.
Sebaliknya jika tujuannya untuk kepentingan duniawi semisal harta, karena kecantikannya, keturunan ningrat, jabatan, kekuasaan seseorang atau penghasilan seseorang, maka Allah akan membuat rendah dan terhina keluarga anda di mata Allah. Pernikahan seperti ini mutlak tidak ada kebahagiaan yang hakiki, hanya fatamorgana yang terbatas sekali. Okelah harta mudah datang dengan menikahi orang kaya, namun sisi lain kadang mereka tidak mengerti sama dengan mendatangkan berbagai masalah lain yang memmperuncing masalah intern keluarga.
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang mengawini wanita karena hartanya,Allah tidak akan memberikan kecuali kemiskinan : barangsiapa yang mengawini karena kecantikannya Allah tidak akan memberikan kecuali kerendahan.....” (HR. Imam Abu Naim ;melalui Abbas ra.)
Sabda Rasulullah SAW :
“Janganlah kalian mengawini wanita karena kecantikannya, mungkin karena kecantikannya itu bisa mencelakakan.....” (HR. Ibnu Majah, Imam Baihaqi, dan Imam Bazar.)
Pernikahan mempunyai tujuan yang luhur, dimana agar suami istri melaksanakan Syariat Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan Syariat Islam ialah wajib.
Pernikahan juga bertujuan untuk mengembangkan Bani Adam. Dan yang terpenting dari pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas. Yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT . Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
C.    Hukum Pernikahan dalam Islam
Pada dasarnya hukum pernikahan adalah mubah (boleh). Semua orang boleh menikah, namun karena pertimbangan keadaan, hukum dasar itu bisa berubah sesuai dengan hukum lima yang ada dalam Islam.
1.      Wajib
Seseorang wajib menikah bila mana sudah memiliki kemampuan lahir batin melangsungkan pernikahan dan membawa bahtera rumah tangga selayaknya. Bila tidak menikah dimungkinkan dirinya lebih jauh melakukan kemaksiatan dan kedzaliman, karena menjaga diri dari barang haram hukumnya wajib.
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)
2.      Sunnah
Bila mana seseorang mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, bisa memberi maskawin atau kebutuhan lain, sementara dia masih kuasa menahan godaan nafsu untuk bertahan di jalan yang benar tanpa tergoda ke jalan yang haram, bagi dia hukumnya sunat menikah, dan masih dianjurkan lebih baik menikah, karena menikah lebih mampu menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Jika seorang hamba telah menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga sisa(nya).(HR. Thabrani)
3.      Makruh
Bilamana seseorang belum mampu memikul biaya hidup berkeluarga serta, tidak seberapa butuh untuk melampiaskan libido seks karena kelemahannya, orang seperti ini makruh menikah. Atau karena pernikahannya menghancurkan diri sendiri disebabkan kurang kesiapan lahir batin,atau justru menyengsarakan pihak wanita segi lahir batin, karena standar hadist Rasul, ialah seruan nikah bilamana anda mampu, bilamana tidak mampu secara tidak langsung belum dalam seruan hadist itu.
Firman Allah SWT :
É#Ïÿ÷ètGó¡uŠø9ur tûïÏ%©!$# Ÿw tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuŽÏZøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù  
Artinya : Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah mereka menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur : 33).
4.      Haram
Bilamana anda mutlak tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin istri seperti kebutuhan batin dan materi, dan anda tidak mampu memenuhi kebutuhan itu, serta anda tahu dengan pernikahan ini semakin menyengsarakan pihak wanita, haram menikahinya.
5.      Mubah
Seseorang diperbolehkan kawin bilamana tidak ada halangan untuk menikah,juga tidak ada bahaya lain bilamana tidak menikah. Dia punya potensi “mampu”  memenuhi kebutuhan lahir batin, namun dia masih bisa membawa diri lebih baik dan masih ada seumpama, sesuatu yang lebih baik dikejar daripada menikah dulu.
Posisi seperti ini berubah sunnah bila ada kemampuan memenuhi kebutuhan lahir batin istri jika dia menikah, dan tidak menikah tidak membayangkan dirinya ; jika membahayakan dirinya, dia wajib menikah.[8]
D.    Syarat dan Rukun Pernikahan
Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Seperti membasuh muka untuk wudlu’ dan takbirotul ihrom untuk sholat, atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.
Tentang jumlah rukun nikah ini para Imam Madzhab berbeda pendapat dalam menentukanya. Imam Malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : wali dari pihak perempuan, mahar (mas kawin), calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad nikah. Imam Syafi’i juga menyebutkan lima, yaitu calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat akad nikah.
Sedangkan menurut para ulama madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun nikah itu hanya ada satu yaitu ijab dan qobul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedang menurut segolongan ulama yang lain menyebutkan rukun nikah ada empat, yaitu : sighat (ijab dan qobul), calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki, dan wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu ”untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul.
Dari uraian diatas, jumhur ulama telah sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan,
2.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
3.      Adanya dua orang saksi,
4.      Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak perempuan dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Syarat perkawinan merupakan dasar sah tidaknya suatu perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari perkawinan antara lain yaitu :
1.      Calon suami dengan syarat-syarat :
·         Beragama Islam
·         Laki-laki
·         Jelas orangnya (bukan khuntha / muskhil)
·         Dapat memberikan persetujuan
·         Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
2.      Calon istri dengan syarat-syarat :
·         Beragama, meskipun yahudi atau nashrani
·         Perempuan (bukan khuntha / mushkil)
·         Jelas orangnya
·         Dapat dimintai persetujuannya
·         Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
3.      Wali nikah dengan syarat-syarat :
·         Laki-laki
·         Dewasa
·         Mempunyai hak perwalian
4.      Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini :
·         Minimal dua orang laki-laki
·         Hadir dalam ijab qabul
·         Dapat mengerti maksud akad
·         beragama islam
·         bersikap adil
·         dewasa
5.      Ijab qobul dengan syarat-syarat
·         dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima aqad dan saksi).
·        singkat hendaknyamenggunakan ucapan yangmenunjukkan waktu lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampausedang lainnya dengan kalimat yang mennjukkan waktu yang akan datang.
E.     Usia Ideal Menikah dalam Islam
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia? Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 tahun 1974,[9]
Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usia calon pengantin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing.
Sabda Rasullullah SAW :
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu hendaklah menikah, sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Namun jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya. (HR Bukhari Muslim)
Jika dilihat dari hadist di atas , kemampuan merupakan faktor penentu  pernikahan menurut Islam. Lalu apa makna mampu disini? Sebagian ulama mendefinisikan sebagai kemampuan memberi nafkah lahir dan batin ketika menikah. Namun sebagian ulama memberi keringanan, yaitu kemampuan jima (berhubungan suami istri. Sebab ketika menikah, secara otomatis dia akan tergerak untuk bekerja.
Jika dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Denagn batasan umur dan kesan, undang-undang perkawinan bermaksud merekayasa untuk tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.
Dengan demikian pengaturan tentang usia ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga kekal dan bahagia secara baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur atau sering diistilahkan dengan perkawinan dini seperti yang telah ditetapkan oleh undang-undang semestinya dihindari karena membawa efek yang kurang baik, terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan dalam Islam ialah ibadah. Itu berarti jika dilaksanakan mendapat pahala. Hal itu berlaku bila dalam sebuah pernikahan dilakukan dengan tujuan untuk meraih Ridha Allah dengan menjalankan perintah-Nya.
Namun hal tersebut sepertinya sudah jarang ada di dunia nyata. Kebanyakan mereka yang menikah ialah karena faktor cinta, dan kedepannya dilakukan dengan dasar untuk memperoleh keturunan. Hal itu sah-sah saja. Akan tetapi akan jauh lebih baik jika kita menjalankan pernikahan sesuai dengan syariah Islam, mulai saat persiapan pernikahan hingga sampai saat membina rumah tangga. Dengan demikian kedepannya akan dipenuhi keindahan rumah tangga bersama anak-anak shalih dan shalihah.
Sejalan dengan program pemerintah melalui pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yang menetapkan batas usia pernikahan, alangkah baiknya jika kita patuhi. Hal ini berpengaruh pada masa depan sebuah pernikahan. Jika kita masih dalam usia yang belum cukup, maka mental kita juga belum siap untuk membina rumah tangga. Jadi alangkah baiknya jika kita menikah dengan usia yang cukup sesuai pasal diatas dan juga dilengkapi mental yang kuat untuk membangun bahtera rumah tangga.






[1] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang, 2006, hlm. 10
[2] Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm. 30
[3] QS. An-Nur : 32
[4] QS Ar-Rum : 21
[5] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang, 2006, hlm. 11
[6] QS. An-Nisa :  3
[7] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang, 2006, hlm. 13
[8] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya, Terbit Terang, 2006, hlm. 15
[9] Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar