Ilmu Dalam
Islam
I.
Pengertian Ilmu
Ilmu merupakan
kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti
tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata
science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata
science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu
Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.
Ilmu
adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Ilmu
sering juga disebut dengan ilmu pengetahuan. Pengertian ilmu pengetahuan
sendiri adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Setiap manusia
mempunyai ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup masing-masing. Dan setiap saat
manusia selalu melakukan usaha sadar dalam rangka menambah ilmu tersebut. Usaha
untuk untuk menambah ilmu setiap individu bisa dilakukan dengan belajar. Proses
belajar dilakukan dalam berbagai bidang. Mulai dari belajar tentang agama dalam
rangka meningkatakan ilmu pengetahuan tentang agama, belajar ilmu pengetahuan
umum dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan tentang dunia umum, dan lain
sebagainya sesuai dengan bidang masing-masing.
II.
Kedudukan Ilmu
Dalam Islam
Ilmu
menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam, hal ini terlihat
dari banyaknya ayat Al Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang
tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi
umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Bahkan
wahyu Al-Qur’an pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW berisi
perintah untuk menambah ilmu (membaca) yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5:
Artinya:
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam (4) Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (5)”.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan
yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al
–sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan, serta
menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi. Hal ini
tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11, berikut ayatnya:
Artinya:
Hai orang-orang
beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Ayat
di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan
menjadi pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan
membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah. Dan masih banyak
lagi ayat-ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dalam islam.
Seluruh
ayat yang menjelaskan tentang keilmuan di dalam Al-Qur’an merupakan sumber
motivasi bagi umat islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus
membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang
berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan
manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan demikian nampak bahwa keimanan yang
dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal.
III.
Manfaat Ilmu
Bagi Manusia
Manusia diciptakan
oleh Allah dalam bentuk makhluk hidup yang sebaik-baiknya. Sesuai dengan firman
Allah dalam surat At-Tin ayat 4:
Artinya:
Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Manusia diberi
karunia berupa akal pikiran sebagai bekal dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
Oleh sebab itu, manusia dan ilmu memiliki nilai hubungan yang sangat erat.
Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa ilmu atau berfikir dan ilmu tidak akan
terwujud dan berkembang tanpa peranan manusia. Maka, ilmu memiliki beberapa
manfaat bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1.
Ilmu Sebagai Pemersatu
Dalam AI-Qur’an
banyak ayat yang menyuruh untuk berfikir, memperhatikan tentang penciptaan
langit dan bumi, dan Al-Qur’an bersifat umum dan global. Ini memberikan
indikasi bahwa islam merupakan agama yang bersifat universal dan sesuai dengan
akal sehat, Islam dapat dianut oleh bangsa manapun.
Dalam islam
tidak diajarkan untuk saling membedakan antar sesama manusia. Jadi islam adalah
agama pemersatu segala golongan, bangsa, maupun suku bangsa.
2.
Ilmu Sebagai Kawan Komunikasi atau
Dialog
Sejak semula
manusia diciptakan sebagai makhluk yang dialogis. Ia merupakan makhluk yang
hidup dengan akal dan jiwa. Arti hidup pada manusia yaitu sebuah kehidupan yang
kreatif tidak seperti hewan atau lainnya. Menurut Descartes “Saya berpikir,
karena itu saya ada”. Manusia dapat dikatakan ada dan diakui keberadaannya bila
dia berfikir dan juga berdialog. Dalam dataran ini kedudukan dan aktifitas
manusia adalah dinamis yang pada gilirannya akan senantiasa berkomunikasi
dengan lingkungannya secara kritis, inovatif, kreatif dan mengutamakan
kehormatan ilmu serta kemanusiaan.
IV.
Ilmu dan
Pembentukan Kepribadian
Dengan bekal
ilmu pengetahuan manusia mampu mengetahui dan mengolah isi alam semesta, tetapi
manusia yang hanya memiliki ilmu agama saja atau mendapatkan ilmu yang umum
saja mempunyai paradigma berpikir yang berbeda terhadap hidup atau kehidupan.
Bahwa dengan ilmu manusia mampu mengetahui dirinya sendiri, dan lingkungan
sekitamya. Sehingga orang yang mempunyai ilmu sepatutnya memiliki kepekaan yang
tinggi terhadap stimulan (rangsangan) yang datang dari dalam dirinya, orang
lain dan alam sekitarnya. Lalu ia mengetahui apa yang seharusnya dipikirkan,
disikapi dan selanjutnya diperbuat dalam tindakan oleh anggota badan. Dengan
ilmu pula manusia dapat menjaga harkat dan martabat sebagai khalifah di bumi,
bila mereka yang tidak dapat menjaga amanat dari Allah, maka manusia akan masuk
dalam jurang kehinaan dan kerendahan, seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an
yaitu pada surat Al-A’raf ayat 179:
Artinya:
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.
Dari ayat tersebut dapat menjelaskan bahwa manusia yang sudah
diberi amanat oleh Allah tidak dapat menjaganya, bahkan ia lalai dari tanggung
jawab. Kemudian keterpaduan antara jasmani dan rohani manusia yang didasari
oleh ilmu Ilahi merupakan urgensi bagi pembentukan sebuah kepribadian yang
kokoh, memiliki prinsip hidup yang sejalan dengan norma Islam, sebab apabila
sudah terjadi ketidakseimbangan, maka akan berimplikasi pada manusia itu
sendiri sehingga ketimpangan dan kerusakan akan mengkontaminasi jiwanya yang pada
gilirannya akan berdampak pada pembentukan kepribadian yang tercela.
Ilmu juga memiliki hubungan dengan pembentukan kepribadian yang
stabil dan mantap. Sebab dengan ilmu juga manusia mengetahui jati dirinya.
“Dari segi lahir”, jasad manusia merupakan miniatur alam semesta (al-kawn al-Jami’),
sedangkan dari segi batin, ia merupakan citra Tuhan. Dengan argumentasi ini
dapat memberikan suatu penjelasan bahwa kepribadian manusia yang unggul sebab
manusia dapat menirukan sifat-sifat Illahi. Dan itu semuanya dapat
mengetahuinya berkat adanya ilmu. Sehingga antara ilmu dan pembentukan
kepribadian mempunyai hubungan yang dekat.
Sikap dan perbuatan seseorang yang sudah menjadi kepribadian,
kebiasaan atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan pertimbangan dari akalnya
serta tanpa unsur pemaksaan dari luar dirinya. Sumber kepribadian muslim adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut keterangan Majid Fakhry, bahwa “etika religius
terutama berakar dalam AI-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana yang sudah
dilakukan oleh para penulis Islam pada zaman klasik, mereka telah memikirkan
dan menyusun konsep-konsep tentang kepribadian yang dikuatkan dengan nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan tidak menghilangkan peran akal aktif manusia. Sebab
kepribadian yang berkembang dalam masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh
adanya perubahan tiap-tiap personal. Dengan tujuan Al-Qur’an dan As-Sunnah
diposisikan sebagai landasan kepribadian secara doktrinal dan normatif,
sedangkan akal aktif berperan sebagai alat tambahan untuk memahami sumber
kepribadian itu yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
V.
Tradisi Ilmu
Dalam Islam
Kaum Muslimin
wajib memanfaatkan dengan sekuat tenaga untuk mencari ilmu (thalabul ilmi).
Selain pahalanya yang sangat besar, ilmu juga menjadi landasan keimanan dan
landasan amal. Banyak orang yang
terpedaya dengan nikmat sehat dan kelonggaran, sehingga tidak dapat
memanfaatkan waktu itu dengan baik.
Padahal,
kedudukan ilmu sangatlah sentral dalam Islam, sehingga Allah memerintahkan agar
aktivitas mencari ilmu itu tidak boleh berhenti, walaupun dalam kondisi perang
sekali pun. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 122:
Artinya:
Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi tradisi ilmu dan
sangat menghargai ilmu. Suatu saat
Sayyidina Ali didatangi beberapa orang dan menanyakan manakah yang lebih mulia
ilmu atau harta. Ali r.a menjawab: Lebih
mulia ilmu. Ilmu menjagamu, harta kamu
harus menjaganya. Ilmu bila kamu
berikan bertambah, harta berkurang.
Ilmu warisan para Nabi, harta warisan
Firaun dan Qarun. Ilmu menjadikan
kamu bersatu, harta bisa membuat kamu
berpecah belah dan seterusnya.
Mengapa ilmu? Tidak ada satu
peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa
kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar
biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliyah gurun pasir, Rasulullah SAW
berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para
sahabat Nabi SAW dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
Tradisi ilmu yang didorong oleh ayat-ayat Al-Qur’an telah berhasil
mengubah sahabat-sahabat Nabi SAW dari orang-orang jahiliyah menjadi
orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia; mengubah
generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan
dunia, menjadi pemimpin-pemimpin kelas dunia yang disegani di seluruh kawasan
dunia saat itu.
Tradisi baca dan tulis-menulis begitu hidup dalam masyarakat, yang
sebelumnya didominasi tradisi lisan. Tiap ayat Al-Quran turun, Rasulullah saw
memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis. Bahkan tradisi membaca dan
menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Rasulullah menjadikan pelajaran
baca tulis sebagai tebusan tawanan Badar.
Rasulullah SAW menugaskan Abdullah bin Said bin Al Ash untuk
mengajarkan tulis menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin As-Shamit
mengajarkan tulis menulis ketika itu. Kata Ubadah, ia pernah diberi hadiah
panah dari salah seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada
Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: ”Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku
biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit
sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata: ”Hafalkanlah, tetapi
terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau
memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu”.
Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat
pemahaman terhadap Al-Qur’an yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar muslim
senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu Taimiyah mencatat, banyak sahabat yang
tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurut Ibnu Taimiyyah,
jumlah orang yang tinggal di dalam Suffah (asrama tempat belajar), mencapai 400
orang.
Rasulullah SAW mempunyai sekitar 65 sek retaris yang bertugas
menulis berbagai hal khusus. Khusus menulis Al-Quran: Ali bin Abi Thalib, Zaid
bin Tsabit, Utsman bin Affan dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta-harta
sedekah: Zubair bin Awwam dan Jahm bin Al Shalit. Masalah hutang dan perjanjian
lain-lain: Abdullah bin al Arqam dan al-Ala bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan
menerjemahkan bahasa asing: Zaid bin Tsabit. Zaid memang diperintahkan
Rasulullah saw untuk belajar bahasa Ibrani dan Suryani. Sekretaris cadangan dan
selalu membawa stempel Nabi: Handhalah.
Generasi selanjutnya, peradaban Islam mencatat para ulama yang
sangat tinggi kecintaannya terhadap ilmu. Jabir ibn Abdullah ra, misalnya,
menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota Arisy di Mesir
hanya untuk mencari satu hadits.
Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad pernah
menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits, bertani untuk
mencari rezeki dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam
al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu sholat dua raka’at
setiap kali menulis satu hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah.
VI.
Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Setiap saat manusia beraktifitas untuk menambah ilmu masing-masing
individu. Mulai dari menambah ilmu agama, menambah ilmu pengetahuan umum,
ataupun menambah ilmu di bidang yang disukai masing-masing, termasuk dalam
pekerjaan mereka. Jadi setiap manusia memiliki ilmu di bidangnya masing-masing.
Ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama islam. Setiap
manusia dilahirkan dalam keadaan berilmu. Beberapa saat setelah lahir bahkan
manusia sudah memiliki instink untuk mencari air susu. Itulah yang dimaksud
manusia dilahirkan dalam keadaan berilmu.
Berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan hadist semakin memperkuat
keyakinan bahwa dalam islam ilmu adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Ayat-ayat dan hadist tersebut menyebutkan perintah kepada setiap
muslim untuk berilmu dan selalu menambah ilmu masing-masing.
Ayat-ayat dan hadist tersebut juga memerintahkan kepada setiap umat
muslim untuk tetap menuntut ilmu dalam situasi apapun. Jadi pandangan islam
terhadap ilmu bersifat universal. Ilmu bisa dicari kapanpun dan dimanapun.
Islam akan
meninggikan derajat orang yang berilmu. Itu tercantum dalam surat Al-Mujadalah
sebagaimana ayatnya tercantum di atas. Itu berarti semakin tinggi kuantitas
ilmu seseorang maka semakin tinggi pula derajat mereka. Begitupun sebaliknya
semakin rendah kuantitas ilmu seseorang maka semakin rendah pula derajat
mereka. Dengan demikian kita bisa berkesimpulan bahwa setinggi-tingginya
derajat seorang muslim adalah dia yang banyak ilmunya, dan serendah-rendahnya
seorang muslim adalah dia yang sedikit ilmunya.
Dengan melihat berbagai perintah yang mengedepankan tentang
keilmuan dalam islam, maka sudah sepatutnya umat muslim untuk tak henti selalu
menambah ilmu. Kita bisa belajar dari lingkungan sekitar. Lingkungan adalah
guru terbesar dalam kehidupan. Dengan lingkungan yang baik maka akan terbentuk
kepribadian yang baik pula. Untuk menjadikan lingkungan itu baik maka sudah
menjadi tugas kita untuk menebarkan kebaikan di lingkungan kita.
Jika dilihat dari segi untung rugi, maka dipastikan orang yang
lebih banyak ilmunya maka lebih banyak pula keuntungannya. Begitupun
sebaliknya, orang yang lebih sedikit ilmunya maka akan sedikit untungnya atau
bahkan merugi. Yang dimaksudkan adalah dengan banyak ilmu maka akan mempermudah
kita dalam kehidupan. Semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita kuasai maka
semakin mudah pula hidup kita.
Untuk itu wajib hukumnya kita sebagai umat muslim sudah sepatutnya
untuk rajinmenuntut ilmu. Orang yang malas menuntut ilmu itu berarti termasuk
orang yang merugi. Jadi jika kita tidak ingin jadi orang yang merugi, sekarang
ataupun kelak di kemudian hari, maka rajin-rajinlah untuk menambah ilmu
pengetahuan kapanpun, dimanapun, dan dalam situasi apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar