BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberhasilan syiar agama di suatu daerah, tidak hanya ditentukan
oleh kualitas ajaran agama itu sendiri, tetapi yang lebih penting, bagaimana
ajaran itu disampaikan kepada calon pemeluknya. Di Indonesia, syiar agama termasuk
proses yang unik, menarik sekaligus cukup dinamis. Meski sudah berlangsung
berabad-abad lamanya, toh masih meninggalkan sejumlah persoalan sampai saat
ini.
Sebagai masyarakat komunal, yang salah satu cirinya ditandai dengan
kekhasaan nilai-nilai lokal, membuat masyarakat ini sulit menerima kebiasaan
maupun ajaran-ajaran yang datang belakangan. Keyakinan lama tidak lantas
tergantikan oleh ajaran baru. Justru yang sering terjadi adalah perpaduan
beragam nilai, tanpa disadari membentuk bangunan baru.
Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi
keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa
dilepaskan dari cara-cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala
itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal.
Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antipati terhadap nilai-nilai
normatif diluar Islam, melainkan mengakulturasikanya dengan membenahi
penyimpangan didalamnya dan memasukan ruh-ruh keIslaman kedalam subtansinya.
Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan ritualitas Muslim Nusantara
khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan tradisi dan budaya
khas lokal, seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.
Tradisi-tradisi itulah yang melatar belakangi pembuatan makalah
ini. Yakni akan membahas mengenai beberapa tradisi Islam yang menuai pro-kontra
antara boleh dan tidaknya tradisi itu dilakukan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja tradisi-tradisi Islam di Indonesia?
2.
Bagaimana
pandangan NU mengenai tradisi-tradisi Islam di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tradisi-tradisi Islam di Indonesia,
2.
Untuk
mengetahui pandangan NU terhadap tradisi-tradisi Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia
Keanekaragaman budaya di Indonesia meliputi penggabungan antara
budaya nenek moyang yang menganut faham animisme (Hindu, Budha) dan budaya
Islam yang merupakan domain di Indonesia sekarang ini. Hal tersebut
menghasilkan corak budaya lokal yang bergabung dengan ritual ibadah agama
Islam. Hal tersebut menimbulkan polemik di kalangan internal orang Islam.
Banyak yang setuju dengan pengakulturasian dua budaya tersebut, dan banyak pula
yang menolak hal tersebut dengan alasan menyimpang dari ajaran Islam (musyrik).
a.
Amaliyah Seputar Shalat
1.
Dzikir
dan Syair Sebelum Shalat Berjamaah
Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat jamaah adalah
perbuatan yang boleh dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kebolehan itu
bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam
masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah
SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadist:
عَنْ
سَعِيدِبْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتِ وَهُوَ
يُنْشِدُفِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى هُرَيْرَ ةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ
رَسُوْلَ اللّٰهِ ﷺ يَقُوْلُ أَجِبْ عَنِّي اَللّٰهُمَّ اَيَّدْهُ بِرُوْ
حِ الْقُدُسِ قَالَ اللّٰهُمَّ نَعَمْ (رواه أبو داود، .436، و النسا ئي، 709، وأحمد، 20928)
“Dari Said bin Musayyab ia berkata, “Suatu
ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang
melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku
telah melantunkan syair di masjid yang didalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu”, kemudian ia menoleh pada Abu Hurairah, Hassan melanjutkan
perkataannya, “Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW,
“Jawablah dariku, ya Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya dengan Ruh
Al-Qudus”. Abu Hurairah menjawab, “Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).” (HR. Abu Dawud [4360] al nasai, [709], dan
Ahmad [20928]).
Mengomentari hadist ini, Syaikh Ismail
al-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian,
nasehat, pelajaran tata krama, dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.[1]
Kedua, dari sisi syair dan penamaan akidah umat. Selain
menambah syair agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk
menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya tersebut
terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasehat.
Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu
dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang
telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up
(persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa
jemu sembari menunggu waktu shalat jamaah dilaksanakan. Juga agar para jamaah
tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jamaah
dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan inilah maka membaca
dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat
jamaah di masjid atau di musholla adalah amaliyah yang baik dan dianjurkan.
Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat.
Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid
dan musholla yang dimaksud.
2. Bilangan Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah salah satu ibadah
yang disunnahkan pada bulan Ramadhan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak
20 rakaat dengan sepuluh salam (melakukan salam setiap dua rakaat), yang
kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat.
KH. Bisri Mustofa menyatakan bahwa secara
esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan
hadist Nabi SAW yang menjelaskan keutamaan serta anjuran mengikuti jejak
sahabat Umar.
Tata cara ini didasarkan pada hadist:
عَنْ
يَزِ يْدَ بْنِ رُمَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْ مُوْنَ فِي زَمَانِ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَ عِشْرِيْنَض رَكْعَةً (رواه مالك في الموطاء، 233)
“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata,
“orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan
Ramadhan 23 rakaat (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, [233]).
Kaitannya dengan hadist:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهَا قَالَتْ مَاكَانَ رَسُوْ لُ اللّٰهِ ﷺ
يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا في غَيْرِهِ عَلَى إِهْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخاري، 1079)
“Dari Sayyidatina Aisyah –radhiyallahu
‘anha, ia berkata. “Rasulullah SAW tidak pernah menambah shalat malam pada
bulan ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rakaat”. (HR. Bukhari, [1079]).
Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan bahwa
hadist tersebut adalah dalilnya shalat witir, bukan dalil shalat tarawih. Sebab
dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat witir
bilangan maksimal adalah sebelas rakaat.[2]
b. Peringatan
Maulid Nabi
Sebagai orang mukmin, pengungk pan rasa
syukur dan kegembiraan atas nikmat yang diterima adalah suatu keharusan. Karena
dengan itulah nikmat yang diterima akan terus ditambah oleh Allah SWT. Firman
Allah SWT :
قُلۡ
بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡيَفۡرَحُواْ
Katakanlah (Muhammad) : "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Begitu pula dengan kelahiran seseorang ke alam dunia merupakan
nikmat tidak terhingga yang harus disyukuri. Sebagaimana Rasulullah SAW
mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadist diriwayatkan
:
عَنْ أَبِيْ غُرَيْرَةَ الْأَ نْصَارِيِّ رَضِيَ اللّٰهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ ﷺ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ
وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ (رواه مسلم، 1977)
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah Al-Anshary
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa senin.
Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan
kepadaku”. (HR. Muslim
[1977]).
Walaupun dengan tat cara yang berbeda,
tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang dilaksanakan oleh umat
Islam saat ini mempunyai esensi yang sama. Yakni bergembira dan bersyukur atas
kelahiran Rasulullah SAW sebagai suatu nikmat yang sangat besar.
Inilah hakikat perayaan maulid Nabi SAW
yang dilakukan di tengah masyarakat. Yakni pengungkapan rasa senang dan syukur
atas terutusnya Nabi Muhammad SAW. Diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang
banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah
dan akhlak Nabi SAW untuk diteladani.[3]
c. Penghormatan
Jenazah
1. Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya,
“Sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari
semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca Al-Quran,
ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga
berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.
Mengutip dari kitab Syarb Al-Kanz,
Imam Al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh menghadiyahkan pahala
perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain,baik berupa shalat, puasa, haji,
shadaqah, bacaan Al-Quran, atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala
perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit
tersebut menurut ulama’ Ahlussunnah.
Ada banyak dalil Al-Quran atau hadist yang
menjelaskan hal ini.diantaranya adalah firman Allah SWT :
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ
بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ
سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ
ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS Al-Hasyr 10)
Dalam sebuah hadist shahih disebutkan :
عَنْ
عَا ئِشَةَ أَنَّ رَجُلًا أتَى النَّبِيَّ ﷺ
فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ
وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ
عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه
مسلم ،1672)
“Dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha, “Seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal dunia secara mendadak
dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu
ia akan bersedekah. Apakah ia akan
mendapat pehala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi SAW menjawab, “Ya”.” (HR. Muslim, [1672])[4]
Hadist tersebut diatas menegaskan bahwa
pahala shadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadist shahih yang
lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga
dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat La ilaha illallah,
subkhanallah, dan lain-lain.sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih yang
artinya sebagai berikut :
“Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ada
beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya
bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (padahal)Mereka shalat seperti kami
shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan
kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “Bukankah Allah SWT telah
menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahka? Sesungguhnya setiap satu
tasbuh (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap
tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim [1674]).
Ayat dan hadist-hadist diatas sekaligus
juga menunjukkan bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, Ukhuwwah
Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian. Maka menolong ahli kubur dengan
doa dan shadaqah yang diwujudkan dalam bentuk tahlilan dan sebagainya itu
pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah
yang sama sekali tidak meyakini sampainya hadiyah pahala kepada orang yang
telah meninggal dunia, baik berupa doa ataupun yang lain.[5]
2. Tahlilan
Berkumpul untuk melakukan tahlilan
merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat
Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh
Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut diperbolehkan karena tidak satupun
unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam,
misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih, dan semacamya. Karena
itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan
Rasulullah SAW.
Imam Al- Syaukani mengatakan bahwa setiap
perkumpulan yang didalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Al-Quran,
dzikir dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah
dilaksanakan pada masa Rasul SAW. Begitu pula tidak ada larangan untuk
menghadiyahkan pahala membaca Al-Quran atau lainnya kepada orang yang telah
meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadist
shahih seperti, hadist “Bcalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu”.
Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama
di dekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al-Quran secara keseluruhan
atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.
Bagi sohibul musibah, tahlilan itu
merupakan pekipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang
mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin
banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah
akan kecewa dan tambah bersedihjika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi
tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin Ukhuwwah antar
anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainudin
Fananie, MA dan Atiqo Sabardila, MA, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta
didapat kesimpulanbahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu tahlil juga merupakan slaha satu alat
mediasi (perantara) yang paling memenuhi
syarat yang bisa dipakai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta
mendatangkan ketenangan jiwa.[6]
3. Ziarah Kubur
Menziarahi makam orang tua, kerabat dan
para wali Allah adalah sunnah Rasulullah SAW dan tuntunan yang dicontohkan oleh
para sahabat dan kaum sholihin. Di dalam ziarah kubur terdapat manfaat yang
sangat besar bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Dalam berbagai hadist,
Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur. Rasulullah SAW
bersabda :
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا ، فَإِ
نَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الْآ خِرَةَ
“Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian
untuk berziarah kubur, akan tetapi sekarang ziarahlah kubur, karena yang
demikian itu dapat menjadikan (seseorang) zuhud terhadap dunia dan ingat kepada
akhirat.” (HR. Ibnu
Majah)
نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ثُمَّ بَدَالِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقُلُوْبَ
وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ فَزُوْرُوْهَا وَلاَ تَقُوْنُوْ هَجْرًا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah
kubur, akan tetapi sekarang tampak bagiku bahwa ziarah kubur dapat melunakkan
hati dan membuat air mata berlinang, oleh karena itu ziarahilah kubur, tetapi
jangan ucapkan kata-kata yang uruk.” (HR. Ahmad)
فَزُوْرُوْا
الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kubur, karena yang demikian itu
dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR. Nasai)
مَنْ زَا رَ قَبْرَ
أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمْعَةٍ غُفِرَ لَهُوْ كُتِبَ بَرًّا
“Barang siapa menziarahi makam kedua orang
tuanya atau salah satu dari mereka setiap hari jumat, maka dia diampuni dan
dicatat sebagai anak yang berbakti (kepada orang tuanya).” (HR. Baihaqi)[7]
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah
kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para
wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah
ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke
makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang
disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.
Berziarah ke makam para wali dan
orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Diantaranya adalah
Imam Syafi’i mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca
Al-Quran sampai khatam disana. Bahkan diceritakan bahwa Imam Syafi’i jika ada
hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperti
pengakuan beliau dalam riwayat Shahih :
Dari Ali bin Maimun, berkata, “Aku mendengar
imam al-Syafi’i berkata, “Aku selalu bertabaruk dengan Abu Hanifah dan
berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apalagi aku memiliki hajat, maka aku
shalat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau, dan aku mohon hajat itu kepada
Allah SWT di sisi makamnya,sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul”.[8]
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni
meriwayatkan bahwa ketika ImamAhmad bin Hambal ditanya, mana yang lebih utama,
melakukan ziarah kubur atau meninggalkannya, maka beliau menjawab, “Ziarah kubur
lebih utama”.
Dr. Muhammad Said Ramdhan Al-Buthi
menceritakan bahwa pada tahun 1972 ayah beliau suatu hari melakukan perjalanan
ziarah ke makam Ibrahim bin Adham dan sejumlah orang shaleh dan wali yang
dimakamkan di sana, termasuk juga ke makam Uwais Al-Qarani. Ayah saya saat itu
berkata : “Sebagaimana rahmat Allah turun ketika disebutkan orang-orang shaleh,
maka di tempat-tempat yang di sana mereka berada, baik mereka masih hidup
maupun telah meninggal dunia juga turun rahmat Allah.” Ayah saya juga menziarahi
Syaikh Abdulqadir Al-Jilani, Junaid Al-Baghdadi, dan Imam Abu Hanifah.[9]
B. Pendapat NU
Tentang Tradisi Islam
Sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa
mayoritas umat Islam di Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah
Wal Jamaah dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sudah
barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para dai yang
mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat
mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja
sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
Begitupun dengan NU. Warga nahdliyin
menggunakan faham Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai pedoman keagamaan
mereka. Mereka mengikuti ulama-ulama terdahulu yang menyebarkan Islam di
Indonesia. Di tanah Jawa mereka mengikuti faham yang diajarkan oleh wali songo.
Itulah kenapa NU disebut aliran Islam Tradisional.
Pokok ajaran Islam NU bersumber pada
ulama-ulama salaf. Seperti dilihat pada kutipan awal pembahasan makalah ini,
ada beberapa amaliyah yang dianggap bid’ah oleh sebagian kalangan. Seperti
jumlah bilangan shalat tarawih, tradisi tahlilan, ataupun ziarah kubur. Namun
ulama’ salaf menganggap itu hal yang diperbolehkan dalam Islam. Hal tersebut masuk
ke dalam bid’ah hasanah. Bid’ah Hasanah ialah perbuatan baru yang baik dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat
dianjurkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
NU merupakan aliran Islam di Indonesia yang
menganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan menggunakan madzhab Syafi’i
sebagai acuan. NU sering disebut aliran Islam tradisional. Hal itu dikarenakan
ajaran yang digunakan ialah ajaran yang besumber dari ulama salaf.
Dalam tradisi Islam nusantara masih kental
dengan nuansa tradisional. Yaitu penggabungan ajaran Islam dan budaya leluhur
masyarakat lokal yang menganut Hindu-Budha. Tak ayal jika masih banyak tradisi
yang berbau Hindu-Budha. Hal tersebut tak lepas dari peran wali songo yang
mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya lokal nenek moyang.
Hal tersebut juga menimbulkan polemik di
kalangan umat Islam tentang boleh tidaknya tradisi-tradisi tersebut
dipertahankan. Dan NU menjawab dengan boleh,selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Hal lain yang menimbulkan polemik ialah
persoalan bid’ah tradisi-tradisi islam tradisonal seperti ziarah kubur,
tahlilan, dan lain-lain. NU menjawab dengan boleh. Sesuai dengan hadist-hadist
shahih yang terdapat dalam pembahasan makalah ini. Tradisi-tradisi tersebut
merupakan Bid’ah hasanah dan hukumnya boleh dalam Islam, bahkan sebagian
dianjurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar