Mardi
Dusun Di Desa Tegalsari
Tegalsari merupakan sebuah desa di kabupaten
Wonosobo yang merupakan bagian dari kecamatan Garung. Desa ini terletak persis
di bawah lereng pegunungan Dieng. Desa Tegalsari merupakan desa agraris di mana
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Walaupun banyak pula warga
masyarakat yang merantau ke luar daerah.
Letak desa Tegalsari yang tidak terlalu jauh
dari jalan raya membuat perekonomian desa ini sejajar dengan desa lain yang
letaknya dekat dengan wilayah kota Wonosobo. Terbukti dengan adanya
fasilitas-fasilitas desaa yang cukup mumpuni untuk membantu mempercepat laju
perekonomian desa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di desa ini juga
tidak tertinggal. Terbukti dengan banyaknya
jumlah pelajar di kampung ini. Tak sedikit pula anak muda yang berkuliah di
lain daerah. Sebagaian besar masyarakat desa ini juga sudah mengenal teknologi
komunikasi saat ini. Bahkan sebagian dari masyarakat sudah mengenal teknologi
informasi dan komunikasi terbaru saat ini. Jadi sebagian besar masyarakat desa
ini sudah bisa mengikuti arus globalisasi saat ini.
Namun perkembangan yang terjadi di desa
Tegalsari berdampak pada sisi kebudayaan. Arus globalisasi di mana masyarakat
lebih memilih untuk meniru budaya kebarat-baratan dan meninggalkan budaya lokal
membuat keberadaan budaya lokal semakin terpinggirkan. Namun ada acara adat di
desa Tegalsari yang masih tetap dijalankan oleh masyarakat, yaitu “mardi
dusun”.
Istilah mardi dusun sebenarnya populer di
beberapa kampung di Wonosobo, tidak hanya di desa Tegalsari, mungkin hanya tata
cara pelaksanaannya yang berbeda di tiap kampungnya. Istilah “mardi” sendiri
berasal dari kata “pardi” yang berarti “jaga”. Dan “dusun” yang
lebih populer dengan istilah desa / kampung. Jadi istilah mardi dusun berarti
menjaga dusun / kampung. Dalam konteks ini menjaga berarti melindungi desa dari
segala hal yang dapat membahayakan desa.
Pada umumnya dengan acara ini masyarakat petani
memohon kepada Allah SWT agar tanaman mereka tumbuh subur, terbebas dari hama
yang bisa merusak tanaman. Untuk kalangan pedagang berharap agar barang
dagangan mereka laris manis. Pada intinya masyarakat berharap desa Tegalsari
selalu berada dalam kedamaian, masyarakatnya hidup rukun, hubungan dengan desa
tetangga juga baik, terhindar dari bencana alam, dan kehidupan masyarakat
selalu searah dengan kaidah agama.
Sejarah mengenai acara ini tidak jelas. Mungkin
nenek moyang desa ini berharap dengan diadakannya acara ini generasi penerus
mereka dapat menjaga tali persaudaraan dengan berkumpul bersama dalam satu
tempat / ruang dalam suasana yang damai. Juga bertujuan untuk mengingatkan
bahwa ada Tuhan di atas kita. Mengingatkan bahwa kita membutuhkan perlindungan
Tuhan dan kita harus memohon kepada Tuhan agar Tuhan selalu melindungi kita.
Acara mardi dusun ini merupakan acara tahunan.
Acara ini selalu dilaksanakan pada hari jum’at minggu pertama di bulan suro
(muharam). Acara ini juga dilangsungkan dalam rangka memperingati tahun baru
islam. Sebab kenapa acara ini selalu dilaksanakan pada hari jum’at mungkin
karena hari jum’at adalah hari yang baik dalam islam.Hari di mana dunia
diciptakan. Dan berharap dengan diawali di hari jum’at yang penuh dengan
kebaikan maka selama setahun ke depan masyarakat selalu berada dalam kebaikan
pula.
Acara ini dilaksanakan setelah sholat jum’at.
Masyarakat berbondong-bondong menuju balai desa untuk berkumpul. Pakaian yang
mereka kenakan tidaklah khusus. Pada umumnya kaum laki-laki memakai batik
ataupun pakaian muslim, begitupun dengan kaum perempuan, mereka mengenakan
pakaian muslimah.Namun ada yang khas dari pakaian laki-laki. Mereka pasti
mengenakan peci dan sarung.Sebenarnya tidak diwajibkan, tapi inilah yang khas
dari desa Tegalsari. “Pakaian muslim kurang lengkap tanpa sarung”.
Masyarakat berkumpul sambil membawa tumpeng
yang sudah mereka siapkan sebelumnya dari rumah. Isi tumpengnya sendiri
bermacam-macam. Mulai dari daging ayam, daging sapi, telur, ikan tongkol, dan
lain-lain. Juga dilengkapi beberapa macam sayuran sebagai pelengkap. Tak jarang
pula sebagian masyarakat melengkapi tumpeng mereka dengan ingkung ayam.
Susunan acara dalam mardi dusun ini tak jauh
berbeda dengan pengajian pada umumnya. Dimulai dengan pembukaan dengan
pembacaan surat al-fatihah, kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari kepala
desa atau sesepuh desa. Pembacaan dzikir tahlil juga selalu ada dalam acara
ini, kemudian dilanjutkan dengan acara yang paling inti, yaitu pembacaan do’a
untuk memohon keselamatan. Lalu dilanjutkan dengan ceramah oleh kyai / ustadz desa,
dan diakhiri dengan do’a penutup.
Setelah acara mardi dusun ini selesai, seluruh
masyarakat langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka kemudian membagi
tumpeng yang dibawa ke acara mardi dusun tadi lalu memakannya bersama seluruh
anggota keluarga di rumah. Dengan memakan nasi tumpeng tersebut mereka berharap
mendapatkan keberkahan dari acara mardi dusun yang telah selesai mereka
laksanakan.
Acara mardi dusun ini masuk dalam kategori
acara keagamaan, oleh karena itu tak jarang pula acara ini dilaksanakan bersama
dengan pengajian dalam rangka peringatan hari besar islam. Biasanya rangkaian
acara diawali dengan acara mardi dusun, kemudian dilanjutkan dengan pementasan
kesenian-kesenian khas dari kabupaten Wonosobo, seperti tari lengger, kesenian
embleg, kesenian calung, dan lain-lain. Barulah di hari terakhir acara
pengajian akbar dilaksanakan.
Hikmah dari acara mardi dusun ini adalah di
mana nenek moyang desa tegalsari mengajarkan tentang pentingnya Allah dalam
kehidupan masyarakat muslim. Manusia diciptakan oleh Allah, sehingga manusia
membutuhkan Allah. Hanya kepada Allah manusia memohon perlindungan. Hanya
kepada Allah manusia memohon keselamatan dalam hidupnya, karena tiada yang maha
melindungi selain Allah SWT.
Dalam acara mardi dusun kita juga diajarkan
untuk selalu menjaga tali silaturahmi dengan warga sekitar kita. Warga
menyempatkan sedikit waktu mereka untuk berkumpul bersama, saling
bersalam-salaman, saling menyapa, saling berramah-tamah. Dengan hal ini maka
tali persaudaraan akan tetap erat terjaga. Masyarakat hidup dalam lingkungan
yang penuh dengan kedamaian.
Kita hidup dalam tatanan sosial yang majemuk.
Kemajemukan ini menghasilkan keberagaman budaya. Sudah tentu menjadi tugas kita
sebagai warga untuk melestarikan budaya yang ada di sekitar wilayah yang kita
tinggali. Banyak juga dari budaya-budaya tersebut yang merupakan budaya islami
di mana unsur keislaman sangat kental di dalamnya, seperti acara mardi dusun.
Maka tugas kita sebagai masyarakat muslim untuk melestarikan budaya islami
tersebut. Kita harus pandai-pandai menyikapi budaya-budaya asing yang dengan
gencarnya masuk ke dalam lingkungan masyarakat sekitar kita. Jangan sampai
budaya asing mendominasi dan meredupkan pamor budaya lokal yang berakibat pada
punahnya budaya lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar